TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akan menggelontorkan anggaran sebesar Rp99,5 triliun untuk THR dan gaji ke-13 aparatur sipil negara tahun ini. Jumlah itu terdiri atas Rp48,7 triliun untuk THR dan Rp50,8 triliun untuk gaji ke-13.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan THR akan dibayarkan 10 hari kerja sebelum Hari Raya, sekitar tanggal 26 Maret 2024. Sedangkan gaji ke-13 akan diberikan pada Juni 2024.
Pemerintah berharap, guyuran Rp48 triliun itu akan menggerakan perekonomian nasional. Ini belum termasuk THR untuk karyawan swasta, yang juga wajib dibayaran perusahaan.
Bank Indonesia memperkirakan uang beredar selama Ramadan dan Lebaran ini naik 5 persen dibanding tahun lalu. Selama Ramadhan dan Lebaran tahun lalu, uang kartal dan uang giral yang dipegang masyarakat mencapai Rp4.561,7 triliun pada Maret dan Rp4.673,3 triliun pada April. Padahal bulan sebelumnya atau Februari 2023 baru sebesar Rp4.555,3 triliun.
Artinya pada periode Ramadhan dan Lebaran (April-Mei) 2022 tumbuh secara tahunan sebesar 13,6 persen pada April dan 12,1 persen pada Mei. Pertumbuhan saat Ramadhan dan Lebaran (Maret-April) tahun 2023 juga tetap positif meski sedikit melambat, yaitu 6,2 dan 5,5 persen (yoy).
Namun apakah uang negara Rp48 triliun untuk THR ASN berdampak besar pada perekonomian? Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian mengatakan, tunjangan hari raya dan gaji ke-13 ASN tak akan berdampak signifikan bagi perekonomian. Pasalnya, proporsi ASN hanya sekitar 3 persen dari total tenaga kerja.
Menurut Eliza, THR ASN akan berdampak terhadap peningkatan tingkat konsumsi pada kuartal I 2024. Begitu pula gaji ke-13 yang akan terlihat pada kuartal II.
"Namun, tidak signifikan mendongkrak (perekonomian), mengingat yang menjadi ASN ini sedikit. Sebagaimana kita ketahui, sekitar 55 persen perekonomian kita didorong oleh sektor konsumsi swasta," kata Eliza kepada Tempo pada Senin, 18 Maret 2024.
Eliza menjelaskan, kontribusi konsumsi kalangan bawah terhadap perekonomian Indonesia tahun 2023 mencapai 18,04 persen. Sementara kalangan menengah sebesar 32,25 persen dan kalangan atas 46,71 persen.
Jika ingin mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan, kata Eliza, cara yang paling tepat adalah memperbaiki tingkat upah riil pekerja sektor industri dan jasa. Alasannya, upah rill di sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja tersebut rata-rata tahunannya mengalami pelemahan. Bahkan, lebih tinggi tingkat inflasinya daripada pertumbuhan upah riilnya.
Misalnya pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan serta sektor industri pengolahan, upah mengalami pelemahan berturut-turut sebesar 2,2 persen dan 1,3 persen. Sementara pada perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor, upah menurun secara tahunan sebesar 2 persen.
"Ketiga sektor ini menyerap 61,6 persen pekerja dengan status buruh, karyawan atau pegawai."
Menurut Eliza, tidak salah jika pemerintah berharap bahwa THR dapat mendongkrak perekonomian. THR tetap akan berdampak positif terhadap peningkatan konsumsi masyarakat, hanya saja tidak signifikan.
"Jangan sampai pertumbuhan upah lebih rendah dari inflasinya. Jika inflasi lebih tinggi dari pertumbuhan upah, artinya daya beli masyarakat kian tergerus," kata Eliza.
Berikutnya: BI Tetap Optimistis