TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, keberadaan kawasan laut di Jawa Timur terancam usai Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2023 disahkan. Keduanya menyatakan bahwa peraturan hasil integrasi dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) telah membuka ruang untuk eksploitasi kawasan laut.
Kiara dan Walhi menemukan beberapa masalah dalam kajian kebijakan tata ruang dan lingkungan Provinsi Jawa Timur, yakni pertambangan dan limbah. Dalam konteks pertambangan, potensi kehancuran kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil cukup tinggi.
"Karena Perda baru tersebut semacam melakukan aktivasi pertambangan pasir laut, yang tentunya mengancam biodiversitas laut," tertulis dalam kertas posisi Kiara dan Walhi, dikutip Kamis, 7 Maret 2024.
Selain pasir laut, ancaman lain yang datang dari pertambangan adalah semakin masifnya zonasi dan konsesi migas pada wilayah Pesisir Utara Jawa. Tepatnya memanjang dari ujung timur yang berdekatan dengan Provinsi Bali hingga ke ujung barat di sekitar wilayah Tuban, yang berbatasan dengan Jawa Tengah.
Tak hanya di laut, tambang yang berada di daratan juga dinilai menjadi ancaman yang cukup besar bagi keberlanjutan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasalnya, kebijakan dalam rencana tata ruang serta kebijakan dari pemerintah Provinsi Jawa Timur mengamini dumping limbah hasil aktivitas pertambangan. Secara teknis, beberapa di antaranya masuk dalam kategori berbahaya dan beracun atau B3.
Dumping merupakan praktik dagang yang dilakukan oleh eksportir dengan cara menjual barang di luar negeri dengan harga lebih murah dibanding di dalam negeri. "Terkait dengan praktik dumping limbah ini belum ada informasi publik yang secara spesifik disampaikan ke khalayak luas."
Melihat situasi demikian, Kiara dan Walhi menyoroti beberapa hal mengenai pertambangan pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Terutama untuk minyak dan gas serta mineral nonlogam, termasuk pasir laut. Pasal 65 perda tersebut menyebutkan bahwa pemerintah Provinsi Jawa Timur mengalokasikan sekitar 67.503 hektare untuk menjadi kawasan pesisir yang boleh dieksploitasi.
Dalam pengaturan tersebut, ada tiga zonasi. Pertama, zona pertambangan mineral dan batubara di wilayah perairan Laut Jawa dan Selat Madura. Kedua, zona pertambangan minyak dan gas bumi di wilayah perairan Laut Jawa dan Selat Madura. Ketiga, zona pengelolaan energi di wilayah perairan Laut Jawa dan Selat Madura.
"Rencana ini sangat berhubungan dengan ambisi pemerintah pusat untuk melakukan eksploitasi migas secara besar-besaran pasca batubara bukan lagi menjadi pilihan utama. Mereka bahkan melabeli migas untuk jenis liquid natural gas sebagai energi bersih," demikian tulisnya.
Jika merujuk pada Perda RZWP3K Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2018, alokasi ruang untuk zona pertambangan minyak bumi hanya sebesar 9.003 hektare. Sedangkan alokasi ruang untuk zona pertambangan minyak dan gas dalam Perda RTRW hasil integrasi menjadi 49.062,88 hektare.
Artinya, alokasi ruang untuk zona pertambangan minyak dan gas dalam meningkat sangat signifikan, sekitar 40 ribu hektare. Bertambahnya alokasi ruang untuk pertambangan minyak dan gas tersebut terdapat di Kabupaten Gresik, Kabupaten dan Kota Pasuruan, dan Kabupaten Sidoarjo.
Sementara untuk pasir laut, terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut melegalkan pertambangan pasir laut dan bisnis.
"Pertambangan pasir laut akan dijadikan komoditas ekspor, guna menambah devisa dan penerimaan negara bukan pajak dari sektor kelautan dan perikanan dari negara."
Pilihan Editor: Jokowi Ternyata Berikan Akses Luas ke Bahlil untuk Kelola Perizinan Tambang