TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR dari PKS, Ecky Awal Mucharam, menyoroti utang pemerintah yang mencapai Rp 8.253 triliun per 31 Januari 2024. Angka ini disebut masih dalam batas aman oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) karena masih di bawah ambang batas 60 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB).
Ecky menuturkan, memahami utang tidak bisa hanya fokus pada rasio utang terhadap. Namun, perlu diperhatikan pertumbuhan nominal.
"Utang yang terus meningkat tidak diiringi dengan kontibusi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan," kata Ecky kepada Tempo, kamis, 29 Februari 2024. "Bahkan, beban fiskal bunga utang juga terus meningkat."
Tahun lalu, ujar dia, utang pemerintah naik Rp 409 triliun atau 5,3 persen secara tahunan. "Pertumbuhan utang pemerintah lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi."
Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 adalah 5,05 persen. Ecky melanjutkan, tingginya imbal hasil surat berharga negara atau yield SBN mengakibatkan mahalnya pembiayaan utang di Indonesia.
Dia mencatat, SBN 10 tahun menawarkan yield 6,705 persen pada Januari 2024. Angka ini jauh di atas negara lain, seperti Thailand yang sebesar 2,655 persen, Vietnam sebesar 2,42 persen, Malaysia sebesar 3,795 persen, Vietnam sebesar 2,422 persen, dan Filipina sebesar 6,157 persen.
"Yang lebih menyedihkan adalah cicilan bunga utang," kata anggota fraksi Partai Kesejahteraan Sejahtera atau PKS ini.
Ecky mencontohkan, realisasi pengeluaran cicilan bunga utang mencapai Rp 439,88 triliun pada 203. Adapun porsi pembayaran cicilan bunga utang mencapai 19,63 persen dari belanja pemerintah pusat. Sementara realisasi penerimaan perpajakan pada 2023 mencapai Rp 2.158 triliun.
"Alokasi penerimaan perpajakan tersebut yang harus digunakan untuk membayar cicilan bunga utang mencapai 20,38 persen," tutur Ecky.
Sebelumnya diberitakan, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Suminto, angkat bicara soal utang pemerintah yang mencapai Rp 8.253,09 triliun per akhir Januari 2024. "Risiko utang pemerintah terkendali," kata Suminto, kepada Tempo, Rabu, 28 Februari 2024.
Dia menjelaskan, rasio utang pemerintah terhadap PDB per Januari 2024 mengalami perbaikan dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Yaitu, 39 persen dari PDB pada Desember 2023, 39,7 persen pada Desember 2022, 40,7 persen pada Desember 2021, dan 39,4 persen pada Desember 2020.
Menurut Suminto, rasio utang terhadap PDB alias debt to GDP ratio sempat mengalami kenaikan cukup besar karena pembiayaan pandemi Covid-19. Pada 2019 lalu, rasio utang terhadap PDB adalah 30,2 persen. Rasio ini juga meningkat pada 2020 hingga 2021.
"Meskipun begitu, dibandingkan banyak negara emerging markets, debt to GDP Indonesia tergolong terendah," ucap Suminto.
Dia menjelaskan, debt to GDP ratio pada 2022 Malaysia adalah 60,4 persen, Filipina sebesar 60,9 persen, Thailand sebesar 60,4 persen, Vietnam sebesar 37,1 persen, India sebesar 89,26 persen, Argentina sebesar 85 persen, Brazil sebesar 72,87 persen, Mexico sebesar 49,6 persen, dan Afrika Selatan sebesar 67,4 persen.
Pilihan Editor: Kemenkeu Sebut Utang Pemerintah Rp 8.253 Triliun Masih Aman, Ekonom: Tidak Cukup Lihat dari Rasio terhadap PDB