TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia atau GIPI Hariyadi Sukamdani menolak kenaikan pajak hiburan 40-75 persen. Ia bersama pengusaha industri hiburan yang dikenakan pajak tersebut akan tetap membayar sesuai dengan tarif pajak lama. "Kami akan membayar sesuai tagihan yang lama. Pemerintah pusat menekankan untuk pajak ini sesuai tarif lama, sambil menunggu proses di Mahkamah Konstitusi," kata dia usai audiensi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Senin, 22 Januari 2024 di Jakarta.
Per 19 Januari, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Nomor 900.1.13.1/403/SJ tentang Petunjuk Pelaksanaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Jasa Kesenian dan Hiburan Tertentu Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022. Dengan adanya surat tersebut, pemerintah daerah dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerah tersebut.
"SE ini adalah penegasan dari pasal 101 UU Nomor 1 tahun 2022, memang ada tertera di situ pengajuan oleh individu perusahaan, tetapi tadi meminta konfirmasi kepada Pak Menko (Airlangga) bahwa intinya kepala daerah berhak mengeluarkan insentif fiskal," kata Hariyadi.
Ia berharap agar pemerintah tetap memberlakukan aturan lama atau UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, karena tidak mengatur batas minimal. Di samping itu, UU tersebut mengatur tarif pajak hiburan yang berbeda-beda untuk tiap daerah. Di antara seluruh wilayah, DKI Jakarta mempunyai tarif paling tinggi, sebesar 25 persen. Sementara itu, di daerah lain ada yang 15 atau 10 persen. "Bali 15 persen setahu saya. Kalau secara umum, rata-rata 10 persen. Kembali aja yang lama, yang penting tidak diberikan tarif yang seperti ini (40-75 persen)," tutur Hariyadi.
Ia menambahkan, pemerintah tak pernah melibatkan para pengusaha industri terkait dalam menyusun UU Nomor 1 Tahun 2022. Padahal, pengusaha industri adalah sasaran dari implementasi peraturan tersebut. Selain itu, ia pemerintah juga tak menyosialisasikan rencana kenaikan tarif pajak hiburan 40-75 persen. "Konsultasi publik terhadap sektor yang terkena Pajak Barang dan Jasa Tertentu tersebut tidak pernah dilakukan," katanya.
Ia mengklaim seluruh pelaku industri hiburan tak setuju dengan kenaikan pajak, karena mematikan usaha mereka di sektor hiburan. "Regulasi pajak ini justru terjadi diskriminasi. Padahal, pajak itu diharapkan menstimulasi penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Ini tidak terjadi," ujar Hariyadi.
Pilihan Editor: Walhi Sebut Pernyataan Gibran Tak Sesuai Fakta: Food Estate Singkong Gagal, Tidak Pernah Panen