Sebelumnya, Menko Luhut menjelaskan dia telah mendengar polemik pajak hiburan ketika berada di Bali beberapa waktu lalu. Dia juga sudah mengumpulkan Gubernur Bali—salah satu daerah yang banya mengandalkan pajak hiburan sebagai pendapatan asli daerah mereka—dan stakeholder terkait lainnya.
"Jadi, kita mau tunda dulu pelaksanaannya," kata Luhut dalam akun Instagram resminya @luhut.pandjaitan pada Rabu, 17 Januari 2024. "Kemarin kita putuskan ditunda, kita evaluasi, dan kemudian judical review MK (Mahkamah Konstitusi)."
Luhut mengklaim, kenaikan pajak hiburan dalam UU HKPD adalah usulan dari Komisi XI DPR RI. Bukan dari pemerintah. "Harus kami perhatikan keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil sangat tinggi, karena itu banyak menyangkut pedagang-pedagang kecil," tutur dia.
Jadi, ucap Luhut, hiburan bukan semata-mata diskotek saja. Menurut dia, sektor hiburan sangat berimbas kepada para pekerja maupun pengusaha-pengusaha kecil di dalamnya. "Atas dasar itulah, saya merasa belum ada urgensi untuk menaikkan pajak ini," ucap Luhut.
Sebelumnya, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana mengatakan kenaikan tarif pajak hiburan adalah dampak dari revisi UU HKPD yang terbit pada 2022. Aturan itu menyebabkan pajak hiburan jenis diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa terkena tarif pajak 40-75 persen, tergantung kebijakan pemerintah daerah setempat.
Kementerian Keuangan mengatakan alasan kenaikannya karena hiburan tersebut dinikmati oleh masyarakat tertentu. Kenaikan pajak hiburan ini banyak diprotes oleh usaha industri hiburan.
Bahkan, para pengusaha spa di Bali langsung mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada 5 Januari 2024. Mereka ingin MK meninjau kembali posisi industri spa yang bukan termasuk jasa hiburan, melainkan kebugaran atau kesehatan (wellness).
MOH. KHORY ALFARIZI | AMELIA RAHIMA SARI
Pilihan Editor: Ombudsman Temukan Sejumlah Maladministrasi pada Bansos PKH, Apa Saja?