TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Etikah Karyani Suwondo mengatakan fenomena tech winter akan berlanjut pada 2024. Tech winter adalah istilah untuk menggambarkan kondisi perusahaan rintisan atau startup mulai berguguran atau untuk menyebut penurunan minat dan investasi dalam sektor teknologi.
Menurut Etikah, hal itu bisa membuat startup menghemat anggaran, termasuk memotong gaji pimpinannya. “Untuk menghindari layoff karyawan sebagai bumper dan resiliensi finance long term,” ujar dia saat dihubungi pada Senin, 1 Januari 2024.
Etikah yang juga ekonomi dari Fintech Center Universitas Sebelas Maret itu menjelaskan, pendanaan untuk startup juga diperkirakan akan melambat pada 2024. Penyebabnya, adanya berbagai faktor seperti suku bunga yang tinggi, kenaikan harga, dan kondisi geopolitik dunia yang memperburuk prospek keuangan global.
Investor, kata dia, juga diprediksikan akan selektif memberikan pendanaan. Oleh karena itu, hanya startup yang mampu beradaptasi dan membaca perubahan pasar dengan cepat, merespons kebutuhan pelanggan, serta mengubah strategi sesuai dengan dinamika ekosistem yang dapat bertahan. “Juga menarik bagi investor,” tutur Etikah.
Sebelumnya, dokumen yang dirilis Google, Temasek, dan Bain Company juga mengungkap bahwa pendanaan swasta di Asia Tenggaran menurun. Dokumen berjudul “e-Conomy SEA 2023” itu menyebutkan suntikan modal swasta pada semester I 2023 di Asia Tenggara mencapai US$4 milar atau sekira Rp 62,6 triliun (dengan kurs Rp 15.644 per US$).
Nilai tersebut turun 69,2 persen Year on Year (YoY) dari sebelumnya sebesar US$13 miliar pada semester I 2022. "Pendanaan swasta di Asia Tenggara telah menurun ke tingkat terendah dalam enam tahun terakhir," tertulis dalam dokumen itu.
Dokumen itu juga mengungkap penurunan pendanaan swasta berdasarkan negara. Indonesia menjadi negara dengan pendanaan swasta yang turun paling dalam di Asia Tenggara. Di mana pada semester I 2023, pendanaan startup di Indonesia turun 87 persen YoY, dari US$ 3,3 miliar menjadi US$ 400 juta atau sekitar Rp6,2 triliun.
Negara lainnya, Filipina di urutan kedua turun paling tajam yakni 79 persen dari US$ 800 juta menjadi US$ 200 juta atau senilai Rp 3,1 triliun pada semester I tahun ini. Ketiga, Thailand turun 66 persen YoY, dari US$ 300 juta menjadi US$100 juta atau Rp 1,5 triliun pada semester I 2023.
Selanjutnya keemoat, Singapura turun 63 persen YoY dari US$7 miliar menjadi US$3 miliar. Malaysia menjadi negara kelima yang turun turun 52 persen YoY dari US$ 500 juta menjadi US$ 300 juta. Serta keenam Vietnam turun 24 persen YoY dari US$ 700 juta menjadi US$ 600 juta atau Rp 9,3 triliun.
Pilihan Editor: Smelter Nikel Meledak, Aliansi Reforma Agraria: Pemerintah Jangan Asal Undang Investor Asing