Land reform atau reformasi agraria di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA. Boedi Harsono membagi pengertian land reform menjadi dua. Guru Besar dalam Ilmu Hukum Agraria ini mengartikan land reform secara khusus sebagai perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum bersangkutan dengan penguasaan tanah untuk mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.
Dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia, Boedi juga mengartikan land reform secara luas meliputi lima program atau Panca Program, yaitu:
1. Pembaharuan hukum agraria.
2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah.
3. Mengakhiri pengisapan feodal secara berangsur-angsur.
4. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum bersangkutan dengan penguasaan tanah untuk mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan, dan
5. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaannya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
Dikutip dari Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup oleh Erman Rajagukguk, land reform di Indonesia pernah diimplementasikan dalam kurun waktu 1961 sampai 1965, namun kurang berhasil. Landasan hukum pelaksanaan adalah UUPA Nomor 5 tahun 1960, yaitu Pasal 7 dan 17 untuk sumber pengaturan pembatasan luas tanah maksimum.
Dikutip dari jurnal Kendala Pelaksanaan Landreform di Indonesia oleh Syahyuti, saat program land reform tersebut diluncurkan, kondisi politik di Indonesia sedang labil. Pada masa itu dikenal pendekatan “politik sebagai panglima”, di mana tiap kebijakan pemerintah dimaknai dalam konteks politik. Partai Komunis Indonesia atau PKI kemudian menjadikan land reform sebagai alat yang ampuh untuk memikat simpatisan.
Land reform diklaim sebagai alat perjuangan partai mereka, dengan menjanjikan tanah sebagai faktor penarik untuk perekrutan anggota. Pola ini menjadikan PKI cepat disenangi oleh masyarakat luas, terutama di Jawa yang petaninya merasakan kekurangan tanah garapan. Namun bagi petani bertanah luas, land reform merupakan ancaman bagi mereka, baik secara politik maupun ekonomi.
Program land reform hanya berjalan intensif dari 1961 sampai 1965. Namun demikian, pemerintahan Orde Baru yang berkuasa pada masa berikutnya mengklaim bahwa land refrom tetap dilaksanakan meskipun secara terbatas. Untuk menghindari kerawanan sosial politik yang besar, maka land reform diimplementasikan dengan bentuk yang sangat berbeda. Akses tanah kepada petani dijalankan dengan program transmigrasi.
Memasuki era Reformasi, dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, program land reform juga diklaim belum dapat memenuhi keinginan agraria dari aktivis, buruh, petani, dan masyarakat adat. Kesulitan yang dihadapi masyarakat adalah proses administrasi. Dalam buku “Kebijakan Reforma di Era Susilo Bambang Yudhoyono”, disebutkan tidak ada kesamaan perspektif antara negara dan pihak swasta dalam mengartikan kebijakan.
Sementara itu, di era Presiden Jokowi, meski pemerintah telah membentuk Tim Nasional Reforma Agraria dan Gugus Tugas Reforma Agraria atau GTRA, namun fungsinya tidak berjalan dengan baik. Menurut studi Alvian dan Mujiburohman pada 2022, persoalan agraria di era Jokowi hanya berkutat pada legalisasi aset.
Secara teknis, implementasi land reform masih kurang. Lantaran, kepemimpinan yang lemah, keterbatasan objek redistribusi, dan peraturan yang tak mencukupi. Seperti yang dituturkan Mahfud, redistribusi tanah bukan sekadar bagi-bagi sertifikat tanah kepada rakyat.
Pilihan Editor: Mahfud MD Sebut Ide Gibran Naikkan Rasio Pajak 23 Persen Tak Masuk Akal: Hati-hati Rakyat Sensitif