TEMPO.CO, Jakarta - Sekjen Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan pemerintah tidak akan menghilangkan batu bara sebagai salah satu sumber pembangkit listrik utama nasional dalam waktu dekat. Meskipun, pemerintah mendorong transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT) dan mengejar target net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Dadan mengatakan kontrak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkisar 25 hingga 30 tahun. "Sehingga, dari simulasi yang kami lakukan di NZE, puncak kita menggunakan batu bara itu antara 2030 hingga 2035," kata Dadan di Jakarta, Rabu, 29 November 2023, dikutip dari siaran pers.
Setelah itu, penggunaan batu bara bakal melandai seiring PLTU yang habis masa kontraknya. Ketika hal itu terjadi, kata Dadan, pemerintah bakal mengembangkan dan menyediakan energi yang lebih bersih ketimbang EBT. Karena itu, batu bara yang tidak dipakai untuk bahan baku pembangkit bisa dimanfaatkan dalam bentuk yang sudah diolah dan lebih hijau melalui proses hilirisasi.
"Kita harus mengarah ke green product. Kita harus menciptakan green industry di sini," tuturnya.
Lebih lanjut, Dadan mengatakan produk batu bara bisa diubah menjadi Dimethyl Ether (DME) melalui proses gasifikasi, yang akan bisa digunakan sebagai pengganti Liquefied petroleum gas (LPG). Sebelum menjadi DME pun bisa menjadi methanol. Menurutnya, metanol banyak dipakai di industri-industri.
"Kita bisa pakai metanol tapi dengan syarat nanti prosesnya harus bersih enggak ada emisi, menjadi produk hijau," kata Dadan.
Dadan juga mengatakan, dengan produk hijau maka proses ekspor akan lebih mudah. Sebab, negara lain, terutama Eropa, bakal melihat dari sisi proses produksinya. Karena itu, Dadan mengatakan green industry dan green product bakal menjadi komoditas yang kompetitif di pasar internasional.
Pilihan Editor: Bank Mandiri, BRI dan BNI Bakal Kelola Iuran Batu Bara