TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Jokowi Widodo alias Jokowi resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2023 tentang Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai untuk Kepentingan Penerimaan Negara. Beleid yang diteken pada 22 November 2023 ini diharapkan dapat meningkatkan efek jera bagi pelanggar aturan cukai.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Nirwala Dwi Heryanto, mengatakan dalam beberapa kasus, penerimaan negara dari denda tindak pidana di bidang cukai sangat kecil. Hal ini, kata Nirwala, terjadi karena para terpidana memilih menjalani pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda.
"Aturan ini semacam restorative justice bagi pelaku yang sudah dalam tahap pengadilan. Karena ada tahap penelitian dan tahap pengadilan, itu mesti dibedakan,” ujar Nirwala saat berkunjung ke Gedung Tempo, di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Selatan, Selasa, 28 November 2023.
Menurutnya, peraturan ini tidak semata-mata untuk mencari penerimaan negara. “Tidak. Jadi keadilan tetap ditegakkan, tetap bisa dijalankan,” tuturnya. “Makanya PP No.54 (Tahun 2023) ini diperlukan untuk yang sudah di pengadilan.”
Adapun Nirwala menyebut cukai merupakan instrumen fiskal sehingga penerapan sanksi administratif berupa denda akan lebih memberikan manfaat dan efek jera.
Dalam beleid No. 54 Tahun 2023, disebutkan bahwa tersangka dapat mengajukan penghentian penyidikan kasus cukai. Namun mekanisme restorative justice ini hanya diberikan kepada beberapa pelanggaran aturan cukai.
Di antaranya, yakni pelanggaran perizinan, pengeluaran barang kena cukai, barang kena cukai tidak dikemas, barang kena cukai yang berasal dari tindak pidana, serta jual-beli pita cukai.
Untuk menghentikan penyidikan, tersangka diwajibkan membayar sanksi administratif berupa denda empat kali nilai cukai yang seharusnya dibayarkan ke rekening pemerintah yang dikelola Ditjen Bea dan Cukai.
Sebenarnya, DJBC telah memiliki mekanisme percepatan penyelesaian perkara pidana di bidang cukai, yakni ultimum remedium. Mekanisme ini, kata Nirwala, bukan menghilangkan unsur pidananya, melainkan mempercepat penyelesaian kasusnya.
“Ultimum remedium timbul karena tadi, harmonisasi peraturan perpajakan. Tapi, kembali ya, ini (ultimum remedium) bukan menghilangkan tindak pidana tapi mengakhirkan,” kata dia. “Jangan sampai yang pelanggarannya kecil, karena sifatnya pidana, prosesnya lebih panjang."
Sebagai informasi, dalam beleid tersebut, tepatnya pada Pasal 2 ayat 1, tertulis bahwa untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri atau pejabat yang ditunjuk, Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan penyindikan tindak pidana di bidang cukai paling lama dalam jangka waktu enam bulan sejak tanggal surat permintaan.
Penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya dilakukan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Penghentian penyidikan dapat dilakukan setelah yang bersangkutan membayar sanksi administratif berupa denda sebesar empat kali nilai cukai yang seharusnya dibayar,” bunyi Pasal 2 ayat 2, dikutip Tempo, Selasa, 28 November 2023.
DEFARA DHANYA | ILONA ESTERINA PIRI
Pilihan Editor: Jokowi Keluarkan PP Baru, Penyidikan Tindak Pidana Cukai Bisa Dihentikan