TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menanggapi soal bantuan sosial atau bansos beras yang digelontorkan pemerintah untuk meredam kenaikan harga beras. Ia menuturkan kenaikan harga beras menandakan pasokan terbatas.
"Karena itu, berhasil tidaknya bansos beras menurunkan harga akan amat tergantung pada kondisi pasar," ujar Khudori kepada Tempo, Minggu, 17 September 2023.
Dia menjelaskan kenaikan harga beras akan tertahan apabila bansos dikombinasikan dengan operasi pasar atau program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Jika volume SPHP cukup besar, menurutnya, harga beras bakal tertahan tidak naik.
"Untuk membuat harga turun, dugaan saya, sulit. Karena pasokan ke pasar dari panen sudah menurun sejak Juli lalu," kata dia.
Hal ini mengacu pada bansos beras periode Maret-Mei yang penyalurannya mundur sampai Juni 2023. Kala itu harga beras tertahan tidak naik. Jika naik pun, tuturnya, kenaikanya tipis. Bahkan inflasi beras pun terkendali hingga menjadi penyebab deflasi.
Tetapi pada Juli-Agustus pemerintah tidak menyalurkan bansos. Alhasil, harga beras naik lumayan tinggi. Beras juga kembali jadi penyebab inflasi. Pada Juli-Agustus, volume SPHP atau operasi pasar lumayan besar, yakni rata-rata sekitar 70 ribu ton beras per bulan. Periode sebelumnya, April-Juni, rata-rata di bawah 20 ribu ton beras per bulan.
Lebih lanjut, Khudori memperkirakan inflasi masih akan terkendali setidaknya sampai November Namun pertanyaannya, kata dia, bagaimana dengan Desember 2023 ketika bansos beras tidak ada. Terlebih Desember adalah masa paceklik, di mana harga beras berpotensi. Jika tidak ada intervensi ke pasar dalam jumlah besar, inflasi juga bisa meningkat pada Desember.