Pada 1984, Djajadi Djaja dan rekan-rekannya menjalin kerja sama dengan Sudono Salim untuk mendirikan PT Indofood Interna. Mereka menerima tawaran dari Salim Group untuk mentransfer kepemilikan Indomie.
Salim Group didirikan oleh Liem Sioe Liong dan memiliki PT Lima Satu Sankyu serta PT Sarimi Asli Jaya. Mereka menciptakan merek mi Sarimi dan Supermi pada tahun 1968. Selain itu, Salim Group juga memiliki bisnis tepung terigu melalui Bogasari.
PT Indofood Eterna hasil kerja sama antara Salim dan Djaja kemudian dipimpin oleh Hendy Rusli yang merupakan orang dekat Djajadi. Dengan berdirinya perusahaan ini juga turut menyatukan merek Indomie dan Supermi dalam satu entitas. Saham PT Indofood Eterna kemudian dibagi menjadi dua bagian, yaitu 57,5 persen saham dimiliki oleh Djajadi dan rekan-rekannya, sedangkan 42,5 persen saham dimiliki oleh Salim Group.
Walaupun memiliki porsi saham yang lebih besar, pada 1993, Djajadi Djaja didepak dari Indomie karena adanya masalah keuangan. Akibatnya, kepemilikan Indofood sepenuhnya beralih ke Salim Group.
Pada tahun 1994, PT Indofood Interna dan PT Sanmaru digabungkan menjadi perusahaan baru, yaitu PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Kemudian, sejak tahun 2009, produksinya dialihkan ke anak usahanya, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk.
Meski begitu, Djajadi Djaya tidak berdiam diri. Pada tanggal 17 Desember 1998, Djajadi mengajukan gugatan hukum terhadap Indofood. Ia merasa telah dipaksa untuk menjual sahamnya dan mereknya di PT Indofood Interna dengan harga yang tidak adil.
Djajadi juga menuduh bahwa Salim telah melakukan manipulasi terhadap kepemilikan sahamnya sehingga sahamnya semakin berkurang. Djajadi mengajukan tuntutan ganti rugi sebesar Rp620 miliar, tetapi ia kalah dalam upayanya hingga proses banding di Mahkamah Agung, dan akhirnya Djajadi tidak berhasil memenangkan kasus tersebut.