TEMPO.CO, Jakarta - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengungkapkan upaya hilirisasi industri di Indonesia jangan diikuti dengan kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah. Pasalnya, Peneliti CIPS Hasran menilai pelarangan ekspor akan berdampak negatif, seperti memunculkan risiko balasan atau retaliasi dari mitra dagang.
“Pasar komoditas internasional juga akan bergejolak karena supply yang ada tidak bisa memenuhi demand,” kata Hasran melalui keterangannya kepada Tempo, Senin, 24 Juli 2023.
Ia menuturkan kebijakan hilirisasi yang dicanangkan pemerintah merupakan langkah positif untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri. Selain itu, menurutnya, keputusan itu juga mampu membuka peluang Indonesia untuk terintegrasi ke dalam rantai nilai global atau Global Value Chain (GVC).
Sayangnya hilirisasi yang dicanangkan Indonesia saat ini adalah hilirisasi yang dibarengi dengan pelarangan ekspor komoditas terkait. Misalnya, tutur Hasran, kebijakan pelarangan ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) tahun lalu telah mempengaruhi perdagangan Indonesia secara umum di komoditas lainnya.
Kebijakan proteksionis, menurut Hasran, bukanlah jawaban atas upaya pemulihan ekonomi yang sedang dijalankan Indonesia. Di saat risiko kebijakan proteksionis semakin besar di masa pandemi, ia menekankan keterlibatan Indonesia di dalam GVC justru perlu diperkuat.
Baca juga:
Adapun hilirisasi merupakan sebuah proses meningkatkan nilai tambah suatu komoditas dengan mengubahnya menjadi barang jadi atau setengah jadi. Sehingga, Indonesia akan membutuhkan bahan baku seutuhnya dari dalam negeri atau menambahkan komponen dari luar negeri (impor).
Hilirisasi meningkatkan nilai ekspor