Kamil menambahkan, dalam Pasal 70 UU 30/1999 jelas menyatakan ada tiga hal yang memungkinkan putusan BANI dibatalkan.
Pertama, surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. Kedua, setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan pihak lawan. Ketiga, putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Ia pun mengingatkan juga mengenai Pasal 11 ayat (2) UU 30/1999 yang berbunyi, "Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam penyelesaian suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini".
Hal ini diperkuat dengan Pasal 62 ayat (4) UU 30/1999 yang isinya, "Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase".
Sejalan dengan hal tersebut, Pasal 3 UU Arbitrase menegaskan, bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
"Permohonan pembatalan putusan BANI menjadi hak dari pihak yang kalah. Hanya saja, gugatan tersebut terlalu mengada-ngada, bahkan bisa terkesan sebagai upaya mempengaruhi Majelis Hakim di PN Jaksel untuk membatalkan putusan tanpa dasar atau bukti yang kuat. Ini juga tidak dibenarkan," ungkap Kamil.
Oleh sebab itu, MMI yakin Majelis Hakim PN Jaksel akan sangat profesional dan berhati-hati dalam memutuskan perkara ini serta sesuai dengan koridor hukum yang selayaknya.
Pilihan Editor: Izin Usaha Kresna Life Dicabut, Nasabah akan Gugat ke OJK