1. Dianggap jual beli kewarganegaraan
Kebijakan pemberian izin tinggal dan kewarganegaraan berdasarkan investasi diasosiasikan sebagai penjualan kewarganegaraan. Alasannya, visa khusus itu disebut menyimpang dari asas ius soli (kewarganegaraan karena tempat tinggal) dan ius sanguinis (kewarganegaraan ditentukan oleh pertalian darah) sesuai hukum internasional.
Selain itu, implementasi visa dari jalur investasi dinilai diskriminatif lantaran bersifat tidak adil. Apalagi jika mengingat hanya segelintir orang dengan kepemilikan harta atau modal yang akan memperoleh hak eksklusif untuk tinggal, membangun usaha, atau bekerja di suatu negara.
2. Rentan fluktuasi ekonomi
Penerbitan Golden Visa menyebabkan risiko di bidang fiskal dan makroekonomi, misalnya fluktuasi ekonomi terlampau cepat (boom and bust cycle) serta gelembung properti. Selain itu, akibat investasi, sangat besar peluang investor untuk berpindah-pindah negara baru untuk menemukan keuntungan lebih menarik dibandingkan negara sebelumnya.
3. Risiko penyalahgunaan izin tinggal
Tidak hanya dikhawatirkan negara pemberi visa, kebijakan izin tinggal tersebut juga mengancam negara pihak tiga. Contohnya, Vanuatu yang pernah mempromosikan investasi melalui Citizenship by Investment Programme berdampak pada akses bebas keluar masuk di kawasan Uni Eropa. Alhasil, Komisi Eropa menghentikan perjanjian bilateral terkait program itu pada Januari 2022.
4. Indikasi peluang tindakan kriminal
Kerugian Golden Visa juga menimbulkan terbuka lebarnya kesempatan untuk korupsi, tindak pencucian uang (money laundering), pengemplangan pajak (tax evasion), dan pendanaan kelompok teroris. Akibatnya, sejumlah negara seperti Hungaria, Inggris, Bulgaria, dan Portugal pernah menarik kebijakan visa khusus bagi investor tersebut.
Investasi ril minimal USD 50 juta dolar
Silmy juga menyebut kebijakan Golden Visa ini nantinya sangat selektif. Perusahaan yang ingin mendapatkan Golden Visa harus melakukan investasi ril minimal USD 50 juta dolar.
Sementara untuk perorangan, besaran nilai investasi di obligasi pemerintah adalah dengan nominal minimal USD 350 ribu.
"Mereka harus melakukan investasi ril, bukan di atas kertas, bukan di atas sekadar akta notaris. Tetapi kami akan pantau jumlahnya dan juga aktivitas," kata Silmy.
Melalui kebijakan ini, Silmy menyebut para pemohon bakal mendapatkan visa multiple dengan durasi 5-10 tahun. Nantinya mereka bisa melakukan aktivitas usaha dan kegiatan lain di Indonesia.
Lebih lanjut, Silmy menyebut kebijakan Golden Visa ini juga menjadi salah satu cara pemerintah menyaring pelintas asing yang berkualitas ke dalam negeri.
"Banyak negara yang sukses dengan menerbitkan Golden Visa, seperti UEA, Singapura, kemudian beberapa negara Eropa, Amerika. Sehingga Indonesia perlu melakukan kebijakan tersebut," kata Silmy.
M JULNIS FIRMANSYAH | MELYNDA DWI PUSPITA
Pilihan Editor: Jabatan Terus Bertambah, Luhut Kembali Dikritik
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.