TEMPO.CO, Jakarta - Skema pinjaman dalam pembiayaan Just Energy Transition Partnership (JETP) dinilai lebih besar daripada hibah. Ekonom menilainya sebagai beban baru bagi keuangan negara.
"Skenario JETP akan jadi beban baru bagi keuangan negara karena porsi hibah yang terlalu kecil, sehingga skema pinjaman menjadi lebih dominan," kata ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira secara tertulis, Rabu, 28 Juni 2023.
Padahal, lanjut dia, negara mitra JETP atau IPG (International Partners Group) yang notabene adalah negara maju harus lebih banyak memberikan hibah sebagai bentuk tanggung jawab dalam krisis iklim.
"Jika ujungnya JETP merupakan pinjaman dengan bunga yang setara dengan bunga pasar, buat apa ada JETP?" ungkap Bhima.
Menurut dia, hal tersebut sama saja pemerintah meminjam lewat mekanisme pasar biasa, baik melalui penerbitan SBN (Surat Berharga Negara) dengan bunga 6 hingga 7 persen atau BUMN yang diminta menerbitkan surat utang (obligasi) dengan bunga pasar.
"Tiap tahun saja Indonesia harus bayar kewajiban bunga utang pemerintah sebesar Rp 441 triliun setara 44 persen belanja kementerian dan lembaga atau 54 persen dari dana transfer daerah 2023," ujar Bhima.
Dengan tambahan beban pinjaman JETP, kata dia, akan meningkatkan beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Dengan begitu, Bhima menilai risiko pelebaran defisit anggaran bisa terjadi.
"Pemerintah jangan mau didikte oleh mitra JETP dengan skenario pinjaman dengan bunga tinggi dan porsi hibah kecil," tutur dia.
Ekonom dari Institute For Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono juga mengemukakan hal senada. Dia menilai, pendanaan JETP yang sebagian besar skema pinjaman komersial adalah tidak adil dan merugikan Indonesia.
"Indonesia seharusnya menolak skema pinjaman komersial dalam pendanaan JETP, bahkan mencapai 50 persen dari total JETP," ujar dia pada Tempo, Rabu.
Selanjutnya: Yusuf menjelaskan, JETP yang didominasi....