TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana mengingatkan beberapa hal mengenai rencana pemerintah yang ingin mengimpor kereta rel listrik (KRL) baru. Salah satunya menyangkut harga yang cukup mahal dari KRL bekas.
Dia menjelaskan, memang membeli KRL baru itu lebih baik dari pada mengimpor yang bekas. Karena kualitasnya lebih bagus, masa manfaat lebih panjang, dan biaya pemeliharaannya lebih efisien daripada beli bekas. “Tapi kan harganya bisa 10 kali lipat,” ujar dia saat dihubungi pada Jumat, 23 Juni 2023.
Baca Juga:
Dampaknya, menurut Aditya, pasti akan berdampak pada biaya operasional KCI. “Biaya ini nanti dibebankan kepada siapa?” kata dia. Karena kereta yang menghubungkan Jabodetabek itu sifatnya public service obligation atau PSO, jika dibebankan kepada masyarakat berarti tarifnya yang akan naik.
Namun jika dibebankan ke pemerintah, berarti jumlah PSO-nya yang naik. Di sisi lain, pemerintah berwacana ingin mengurangi PSO dengan cara menyesuaikan tarif KRL atau dengan memberikan subsidi yang tepat sasaran.
Jika solusinya membeli tiga rangkaian KRL baru, Aditya berujar, membuka potensi penurunan jumlah penumpang. Karena tetap ada rangkaian KRL yang harus masuk ke balai yasa untuk peremajaan yang membutuhkan waktu sekitar setahun lebih.
“Berarti belum ada penggantinya wong KRL barunya datangnya juga enggak akan cepat. KRL impor bekas jauh lebih cepat daripada mendatangkan beli baru,” ucap Aditya.
Luhut memastikan bahwa Indonesia tidak akan impor barang bekas