Ditambah lagi, saat ini sedang terjadi pelemahan ekonomi global. Bahkan upaya untuk startup berekspansi lewat IPO pun menjadi sulit dilakukan. Akhirnya, para startup itu berusaha mempertahankan diri karena harus membayar pegawai dan lain-lainnya.
Ada overhead cost yang harus dikeluarkan sejumlah startup. “Sehingga ada juga dari mereka yang kemudian mengandalkan simpanannya di bank, kira-kira begitu,” kata dia.
Masalahnya, Eko menambahkan, SVB ini menyimpan sebagian besar aset yang dimiliki, dana pihak ketiga bank atau DPK itu berupa surat utang pemerintah ya. Meskipun seolah-olah jika aset disimpan di surat utang pemerintah terkesan aman, tapi bila ada yang menjual surat utang pada saat harga atau suku bunga itu sedang tinggi, harga obligasi menjadi murah.
“Kira-kira begitu ya secara umum. Karena apa? Karena masyarakat lebih senang nabung daripada membeli obligasi pemerintah begitu. Sehingga kalau (obligasi) mau dijual, harganya pasti jatuh dan itu yang terjadi,” ucap Eko.
Nah untuk menyediakan dana yang ditarik oleh para deposan itu, yang terjadi adalah mismatch—situasi bank kekurangan dana karena banyaknya yang ditarik. Ditambah lagi, kata Eko, bank digital itu jika ingin menarik dana, tidak ada batasannya, seperti bank konvensional yang sehari hanya bisa mengambil Rp 100 juta misalnya.
“Ini mungkin batasannya sangat besar sekali, unlimited mungkin. Sepanjang kita punya duit berapa mungkin bisa ditarik semua. Kira-kira gambarannya kayak begitu, itu yang membuat kemudian situasinya (di Silicon Valley Bank) memburuk,” ujar Eko.
Pilihan Editor: Silicon Valley Bank Kolaps, Sandiaga Uno Minta Startup Waspada dalam Siapkan Strategi Permodalan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.