TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum terlapor dalam perkara dugaan kartel minyak goreng, Rikrik Rizkiyana, menilai kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng yang terjadi pada akhir 2021 sampai pertengahan 2022 bukan disebabkan kesepakatan pelaku usaha menaikkan harga dan menahan pasokan. Rikrik merupakan kuasa lima pihak terlapor dari Grup Wilmar.
Dalam perkara ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga 27 perusahaan melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli). Berdasarkan laporan dugaan pelanggaran yang disusun investigator KPPU, kata Rikrik, para terlapor dituduh melanggar atas dua hal.
“Yaitu membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan periode Oktober - Desember 2021 dan Maret – Mei 2022, dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari – Mei 2022. Namun, berdasarkan bukti dan fakta persidangan yang berjalan sejauh ini, tuduhan tersebut tidak terbukti,” ujar Rikrik lewat keterangan tertulis pada Ahad, 15 Januari 2023.
Menurut dia, krisis minyak goreng murni dipicu kenaikan harga crude palm oil (CPO) dunia serta kebijakan pemerintah mengintervensi pasar tanpa ada infrastruktur maupun lembaga khusus yang menanganinya. Karena persentase harga CPO mencapai 80-85 persen dari biaya produksi.
Untuk merespons hal itu, dia berujar, Kementerian Perdagangan sejak Januari 2022 menerbitkan belasan peraturan dalam waktu singkat.
Antara lain penetapan harga eceran tertinggi (ET) minyak goreng kemasan, peraturan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk CPO/ atau RBD Olein bagi pelaku usaha yang ingin mengekspor.
Selanjutnya: kebijakan pemerintah yang berubah-ubah tersebut ternyata tidak dapat menyelesaikan ...