Dia menilai investigator KPPU juga tidak dapat membuktikan bahwa pembatasan peredaran minyak goreng dilakukan produsen. Sebab, produsen minyak goreng tidak punya kendali atas rantai distribusi minyak goreng yang panjang, mulai dari produsen, distributor, sub distributor, agen, pedagang grosir, supermarket/swalayan, pedagang eceran, hingga konsumen akhir.
“Berdasarkan keterangan saksi-saksi di persidangan, kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng bukan karena masalah produksi, tapi karena kenaikan harga CPO, penerapan HET dan kendala distribusi. Tidak ada saksi yang mengatakan kelangkaan karena produsen menahan pasokan,” ujar Farid.
Pada Jumat lalu, Mantan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Oke Nurwan, dalam persidangan di KPPU, membeberkan penyebab kelangkaan minyak goreng. Menurut, hal itu disebabkan kebijakan pemerintah yang tergesa-gesa dalam mengatur pasar tanpa ada badan atau lembaga khusus yang menanganinya, seperti Bulog.
“Terbukti, begitu Permendag 11/2022 diterbitkan pada 16 Maret 2022 untuk mencabut peraturan HET (Permendag 6/2022), keesokan harinya minyak goreng langsung tersedia di pasar,” kata dia dalam persidangan.
Selain itu, kelangkaan minyak goreng juga disebabkan oleh gangguan distribusi yang kendalinya tidak berada di pihak produsen. Berdasarkan data dashboard Kemendag yang berisi self declaration pelaku usaha mengenai realisasi DMO, menurut Oke, selama kurun Januari-Maret 2022 produsen dan ekportir sudah menyalurkan minyak goreng ke distributor utama (D1).
Namun, barang itu ternyata tidak ada di pasar sehingga hal ini menunjukkan ada masalah di level distribusi di bawahnya. “Jadi, produsen maupun eksportir sudah mendistribusikan minyak goreng ke distributor D1. Tidak ada kewajiban mereka mendistribusikan hingga D2 dan terus ke bawah sampai retailer,” ucap Oke.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini