Dengan kondisi tersebut, dia mengingatkan agar jangan sampai penambahan utang pemerintah kian ngebut.
Tauhid menyebut bahwa tingginya nilai utang saat ini menghadapi risiko yang cukup besar. Pertama, rezim suku bunga tinggi pada tahun depan, seiring dengan terus meningkatnya suku bunga acuan The Fed yang membuat Bank Indonesia turut menaikkan suku bunga di dalam negeri.
"Sekarang rezimnya suku bunga tinggi, karena The Fed [menaikkan suku bunga acuan] kita juga menaikkan suku bunga dan itu berpengaruh juga ke yield surat berharga negara [SBN]. Sekarang termasuk paling tinggi di Asia," katanya.
Tingginya suku bunga menimbulkan risiko tambahan pembayaran bunga oleh negara. Hal tersebut bisa berbahaya apabila terjadi perlambatan ekonomi, karena belanja untuk pembayaran utang menjadi meningkat ketika penerimaan terganggu.
Risiko kedua, menurut Tauhid, adalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Memang saat ini komposisi SBN lebih dominan surat utang berdenominasi rupiah, tetapi beban dari 15 persen SBN valas akan meningkat ketika rupiah terdepresiasi.
Ketiga, terdapat risiko tingkat kematangan utang (maturity) dari utang yang segera jatuh tempo. Pembayaran bunga dan pokok utang dalam kondisi saat ini dapat menjadi beban.
BISNIS
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini