TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menanggapi kabar tentang Uni Eropa yang bakal dilanda resesi musim dingin dan dampaknya ke Indonesia. Resesi bahkan diprediksi belum akan pulih hingga musim panas tahun 2023.
Menurut Bhima, resesi musim dingin di Uni Eropa akan berdampak pada berlanjutnya krisis energi. “Ini akan memicu gejolak di harga energi, dan nanti juga akan berujung kepada pangan secara internasional. Ini yang paling riskan,” ujarnya melalui sambungan telepon pada Selasa, 6 Desember 2022.
Baca: Pendanaan JETP Rp 310 Triliun Ditindaklanjuti pada 2023, Airlangga: Terima Kasih Amerika dan G7
Krisis energi tersebut bisa menyebabkan lonjakan harga gas yang cukup tinggi. Dengan kebutuhan tinggi dari Uni Eropa, impor batu bara pun akan meningkat dan berdampak pada kenaikan harga dan diikuti dengan kenaikan ongkos logistik.
Kenaikan harga energi tak hanya dihadapi oleh negara-negara Eropa. “Minyak juga biaya angkutannya (naik) di negara-negara berkembang,” ucap Bhima.
Pemulihan ekonomi kian gelap
Artinya, dia menambahkan, prospek pemulihan ekonominya bisa jadi semakin gelap di tahun depan. Bhima bahkan memperkirakan kemungkinan akan terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi, atau resesinya lebih cepat terjadi dari perkiraan awal secara global.
Lalu bagaimana dampaknya ke Indonesia?
Menurut Bhima, krisis energi musim dingin yang dihadapi negara-negara Eropa bisa berimbas ke Indonesia, khususnya dalam hal subsidi bahan bakar minyak atau BBM. Dalam hitungannya, subsidi BBM di Tanah Air bisa tambah membengkak karena ada risiko harga BBM bakal kembali naik.
“Harga BBM berisko naik lagi kalau harga minyak mentah naik ke atas US$ 90 per barel. Itu risiko-risiko yang mungkin dihadapi,” tutur Bhima.
Selain itu, ia memperkirakan investor dari Eropa akan berpikir ulang untuk masuk dan menanamkan modalnya ke Indonesia. Karena jika terjadi resesi karena krisis energi berarti biaya untuk utulitas di Eropa dan biaya bahan baku proses produksi jadi lebih mahal. “Imbasnya nanti permintaan barang dari Indonesia juga bisa menurun.”
Yang juga tak kalah penting dan harus diantisipasi, kata Bhima, sektor pangan. “Biaya angkutan logistik, transportasi (melonjak), dan satu yang paling berisiko adalah gandum. Yang bakal kena itu juga pupuk. Nah itu bisa jadi ancaman serius itu bagi kita,” kata Bhima.
Baca juga: Hadapi Krisis 2023, Sri Mulyani: Belanja Ketahanan Pangan Naik Jadi Rp 104,2 T
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.