TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosisasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani angkat bicara merespons tuntutan kenaikan upah minimum 2023 sebesar 13 persen oleh kalangan buruh. Menurut dia, besar kenaikan upah itu akan sangat menyulitkan perusahaan. Apalagi pada tahun 2022, perusahaan masih terpukul oleh ketidakstabilan perekonomian.
“Tahun 2022 ini sudah terjadi PHK lebih dari 80 ribu karyawan. Itu data yang masuk asosiasi. Artinya data yang di lapangan masih sangat mungkin lebih besar daripada itu,” ujar Ajib dalam siaran Market Review di IDX Channel, Rabu, 9 November 2022.
Kenaikan hingga 13 persen, kata Ajib, juga tidak ideal. Sebab, bila mengacu Undang-undang Cipta Kerja, formulasi kenaikan upah didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi. Sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi akhir tahun 2023 berada di angka 5,2 hingga 5,4 persen.
Baca: Gelombang PHK, BPS Catat Industri Tekstil Kehilangan 50 Ribu Pekerja
“Kalau kita asumsikan inflasi tumbuh 4 persen, maka sebenarnya paling rasional untuk menaikkan upah di tahun 2023 nanti adalah di kisaran 8 sampai 9 persen,” kata Ajib.
Ajib membeberkan bahwa saat ini pengusaha tengah kesulitan menghadapi kenaikan harga pokok penjualan (HPP). Hal tersebut lantaran kebijakan pemerintah fiskal menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada bulan April, serta mengurangi subsidi bahan bakar minyak atau BBM pada bulan September kemarin.
“Belum lagi kebijakan moneter di mana selama tiga bulan berturut-turut pemerintah menaikkan suku bunga acuan. Agustus naik 25 basis poin, September naik 50 basis poin, dan Oktober kembali naik 50 basis poin,” ujar Ajib.
Kendati begitu, Ajib juga menyadari adanya kebutuhan karyawan untuk mendapatkan kehidupan layak dari sandang, pangan, dan papan, termasuk kebutuhan kesehatan maupun transportasi. Oleh sebab itu, Ajib mengatakan perlu ditemukan jalan keluar dari masalah ini.
Selanjutnya: “Sebenarnya ada tiga hal penting. Pertama...,"