Ia juga menyoroti sektor keuangan Indonesia pada tahun 2009 masih banyak bergantung kepada investor asing daripada sekarang. “Kalau saya enggak salah, kira-kira saham yang dimiliki oleh investor asing itu 50 persen, sekarang tinggal 32 persen," tuturnya.
Jadi, dengan kemungkinan terburuk, bila terjadi resesi pada tahun depan, menurut Faisal, kalaupun sektor keuangannya terganggu, dampaknya tetap tak terlalu signifikan terhadap Indonesia. Bila kepemilikan saham asing itu dijual, pasar saham tidak akan terlalu jatuh seperti 2009.
Selain itu, pada tahun 2009, hampir 40 persen utang pemerintah berdenominasi rupiah dipegang oleh investor asing. Saat ini, proporsi tersebut sudah turun drastis menjadi hanya 16 persen.
Hal ini pula yang membuat Faisal tetap optimistis bahwa pengaruh resesi global 2023 akan relatif kecil. Dalam hitungannya, perumbuhan ekonomi global pada tahun depan melambat ke level mendekati 0, tapi belum sampai 0.
Lalu bagaimana dengan dampaknya ke Indonesia?
Menurut Faisal, meskipun perekonomian Indonesia tak lepas dari perekonomian global, tetap butuh waktu untuk dampaknya menjalar ke Tanah Air. Bila ekonomi dunia pulih, pemulihan di Indonesia akan terjadi lebih lambat setahun atau dua tahun.
Meski perlambatan ekonomi global tersebut tak langsung berimbas ke dalam negeri, Faisal tetap mengigatkan untuk tetap waspada. Resesi adalah perpaduan antara demand shock dan supply shock, diiringi inflasi yang sangat tinggi, ditambah pengaruh pandemi Covid-19 yang masih terjadi.
Reseso global tak lantas membuat Indonesia langsung mengalami resesi. "Kecuali ada akselerasi persoalan lain, seperti sosial dan stabilitas bersatu momennya sama. Nah bisa krisis,” tutur Faisal.
Baca juga: Chatib Basri: Pesimisme Bisa Membuat Resesi Benar-benar Terjadi
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.