TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Wajiyo menyatakan perlambatan aktivitas perekonomian global kini meluas. Bahkan, penurunannya lebih tajam ketimbang perkiraan sebelumnya diiringi dengan inflasi yang meningkat dan ancaman resesi yang menguat.
"Outlook perekonomian ini dipengaruhi oleh krisis biaya hidup (cost-of-living)," ujarnya melalui keterangan tertulis pada Sabtu, 15 Oktober 2022.
Melemahnya ekonomi juga dipengaruhi oleh pengetatan kondisi sektor keuangan di sebagian besar negara karena berbagai faktor. Konflik Rusia dengan Ukraina serta dampak pandemi Covid-19 memperburuk kondisi perekonomian.
Menyikapi situasi perekonomian global yang bergejolak dan ancaman krisis 2023, Perry mengatakan ada tiga langkah yang perlu diperhatikan untuk mengantisipasi resesi. Pertama, tantangan global yang dihadapi tidak dapat direspons dengan hanya satu instrumen kebijakan.
Perry berujar perlu pengembangan kerangka integrated policy framework (IPF) dari Dana Moneter Internasional (IMF). Ditambah, kerangka macro-financial stability frameworks.
"Dalam hal itu, Indonesia telah melakukan implementasi bauran kebijakan moneter, fiskal, stabilitas nilai tukar, dan makroprudensial," tuturnya.
Baca: Luhut Gunakan Istilah Perang Rakyat Semesta untuk Antisipasi Resesi, Apa Artinya?
Poin kedua yang harus menjadi perhatian, menurut Perry, adalah pentingnya pengembangan digitalisasi keuangan. Bank Indonesia, kata dia, telah mengembangkan digitalisasi sistem pembayaran, di antaranya kesepakatan cross-border payment antara Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina. BI juga telah meluncurkan Quick Response (QR) Code dan Bank Indonesia Fast Payment (BI-FAST).
Ketiga, Perry menilai penguatan jaring pengaman keuangan global merupakan hal penting untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan. Upaya itu perlu dilakukan dalam rangka membantu negara yang membutuhkan melalui reformasi kuota di IMF.
Adapun IMF telah menyampaikan beberapa rekomendasi respons kebijakan kepada para negara anggotanya. Salah satu rekomendasinya adalah penerapan kebijakan moneter yang front loaded untuk menjaga stabilitas harga dan menjangkar inflasi ke depan.
Di samping itu, IMF menyarakan untuk memprioritaskan kebijakan fiskal demi melindungi kelompok vulnerable melalui bantuan jangka pendek. Targetnya, untuk mengurangi beban biaya hidup.
Dengan terbatasnya likuiditas di sektor keuangan, menurut Perry, kebijakan makroprudensial perlu untuk menjaga terjadinya risiko sistemis. Perbaikan reformasi struktural juga menjadi perhatian, agar produktivitas dan kapasitas ekonomi meningkat. Langkah tersebut diambil agar dapat meringankan hambatan pasokan dan mendukung kebijakan moneter dalam mengatasi inflasi.
Dia pun menilai kebijakan untuk mempercepat transisi energi hijau juga akan bermanfaat untuk keamanan energi. Terutama, dalam jangka panjang dan mengurangi biaya makroekonomi dari perubahan iklim. Di samping itu, Perry menyebutkan kerja sama multilateral diperlukan agar negara terhindar dari fragmentasi global.
RIANI SANUSI PUTRI
Baca juga: Pertemuan Menkeu dan Bank Sentral, Sri Mulyani: G20 Perlu Hasilkan Aksi Konkret
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.