TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah proyeksi ekonomi yang gelap pada 2023 oleh International Monetary Fund (IMF), Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai pemerintah Indonesia harus segera mengeluarkan paket kebijakan antisipasi resesi ekonomi.
"Tidak cukup hanya lakukan stress test (uji tekanan)," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Jumat, 14 Oktober 2022.
Menurut Bhima, perihal uji tekanan sebenarnya sudah rutin dilakukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dia menuturkan yang mendesak saat ini adalah penerapan paket kebijakan. Isi paket kebijakan yang ia sarankan meliputi relaksasi pajak pertambahan nilai atau PPN dari 11 persen menjadi 8 persen.
Selain itu kebijakan yang diperlukan adalah tambahan alokasi dana perlindungan sosial, ditambah bantuan subsidi bunga yang lebih besar bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kemudian penambahan subsidi uang muka untuk properti, hingga subsidi upah bagi pekerja sektor informal.
Ia menilai sejauh ini antisipasi resesi masih bersifat fragmentasi, tidak dalam satu koordinasi. Misalnya, kata dia, pada dana kompensasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Padahal masalahnya kini bukan soal inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM.
Baca: IMF: Konsekuensi Ekonomi Terburuk Ditengah Pandemi COVID-19
"Waktu tidak banyak sehingga secepatnya bentuk tim koordinasi paket kebijakan resesi," tutur Bhima.
IMF sendiri telah menyatakan ekonomi global berisiko merugi sebesar US$ 4 triliun pada 2026 akibat resesi. IMF telah menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi global menjadi hanya 2,9 persen pada 2023 seiring dengan resesi.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menilai prospek ekonomi global gelap akibat meningkatnya risiko resesi dan ketidakstabilan keuangan. Hal itu terkadi karena usai pandemi Covid-19, dunia dihadapkan dengan ancaman krisis imbas dari invasi Rusia ke Ukraina dan perubahan iklim.
"Kami mengalami perubahan mendasar dalam ekonomi global, dari dunia yang relatif mudah diprediksi ke dunia dengan lebih banyak kerapuhan, ketidakpastian yang lebih besar, volatilitas ekonomi yang lebih tinggi, konfrontasi geopolitik, dan bencana alam yang lebih sering dan menghancurkan," katanya seperti dikutip dari Reuters, akhir pekan lalu.
IMF menyebutkan negara-negara maju dengan keuangan terkuat pun pertumbuhan ekonominya akan melambat. Kondisi itu akan mengurangi permintaan terhadap ekspor sehingga imbasnya, negara-negara berkembang akan sangat terpukul.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan pemerintah tengah mengantisipasi potensi ekonomi dunia yang makin dekat dengan jurang resesi. Hal yang ia soroti adalah naiknya suku bunga oleh bank sentral negara-negara di dunia yang memicu resesi global.
Menurut Sri Mulyani, dalam empat dekade terakhir, setiap kebijakan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika berujung pada krisis di berbagai belahan dunia, khususnya Amerika Latin. "Jadi kita harus mewaspadai spill over yang akan berpotensi menimbulkan gejolak di pasar keuangan," ujarnya.
RIANI SANUSI PUTRI
Baca: IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan jadi 2,7 Persen, Wamenkeu: APBN jadi Shock Absorber
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini