TEMPO.CO, Jakarta - Luhut Binsar Pandjaitan memastikan Presiden Joko Widodo atau Jokowi akan melakukan tes dinamis kereta cepat Jakarta - Bandung bersama Presiden Cina Xi Jinping pada Rabu, 16 November 2022.
"Bisa lah (uji coba dengan Xi Jinping)," kata dia saat ditemui di Hotel Mandarin Oriental Jakarta, Rabu 12 Oktober 2022.
Sementara itu, Luhut berencana untuk meninjau perencanaan tes dinamis kereta cepat Kamis besok, 13 September 2022. Tes dinamis sendiri akan dilaksanakan pada 16 November 2022. Agenda tes dinamis itu menjadi salah satu tujuan dari kunjungan Presiden Cina Xi Jinping saat KTT G20 di Indonesia.
Di sisi lain, Luhut mengatakan meski terjadi pembengkakan biaya atau cost overrun, progres proyek kereta cepat Jakarta-Bandung berjalan baik. Luhut mengklaim pembiayaan kereta cepat masih berlandaskan business-to-business atau B2B.
Menurutnya, hingga saat ini belum ada opsi menggelontorkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Baca: Menhub: Uji Coba Kereta Cepat November 2022 Belum Terhubung sampai Jakarta
"Kita masih bikin kerja sama dengan Cina. Masih B2B," ujar Luhut saat ditemui di Hotel Mandarin Oriental Jakarta, Rabu, 12 Oktober 2022.
Tetapi, ia tidak menampik peluang pemerintah mengalokasikan dana untuk mensubsidi proyek kereta cepat itu. Sebab, menurut Luhut, penerimaan pajak mencapai lebih dari 12 triliun. "Jadi kalaupun APBN mensubsidi KIA, saya kira itu masih masuk lah," kata dia.
Adapun Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari PKS Amin Ak sebelumnya telah mewanti-wanti agar pemerintah tidak menggunakan APBN untuk menalangi pembengkakan biaya proyek kereta cepat. Sebab, Amin menilai banyak kejanggalan dalam proyek infrastruktur itu.
Menurut Amin, kejanggalan sudah terlihat sejak proposal proyek disampaikan Cina pada bulan Agustus tahun 2015 silam. Kala itu, Cina menawarkan biaya proyek yang lebih murah dibanding Jepang dan menjanjikan proyek dikerjakan secara B2B tanpa perlu jaminan pemerintah.
Kejanggalan lainnya ada pada sisi bisnis, yang dinilai sulit untuk balik modal. Sebab, dengan menghitung besarnya biaya pembangunan yang membengkak menjadi US$ 7,9 miliar dari semula hanya US$ 5,13 miliar, secara hitungan bisnis sangat sukar untuk bisa kembali modal.
Kejanggalan itu menurutnya, mirip dengan apa yang dialami sejumlah negara yang menggunakan pendanaan dari Cina untuk pembangunan infrastruktur, seperti Srilanka dan Pakistan.
RIANI SANUSI PUTRI | ANTARA
Baca: Luhut Gunakan Istilah Perang Rakyat Semesta untuk Antisipasi Resesi, Apa Artinya?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini