TEMPO.CO, Jakarta -Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan 28 negara yang tengah antre menjadi pasien IMF saat ini.
Hingga tadi malam dia mengecek perkembangan di IMF tersebut, Bahlil mengaku belum mendapatkan informasi nama-nama negaranya. Hanya saja, kata dia, 28 negara itu tidak hanya berasal dari negara berkembang.
"Belum diumumkan negara-negara mana saja, tapi indikasinya tidak hanya negara berkembang, tapi juga mungkin juga negara yang bukan berkembang bisa kena, ngerti maksud saya kan," kata Bahlil di Hotel Fairmont, Jakarta, Rabu, 12 Oktober 2022.
Ia memastikan Indonesia bukan bagian yang tengah antre menjadi pasien IMF supaya bisa mendapatkan bantuan. Sebab, dia mengatakan, hingga saat ini ekonomi Indonesia masih dapat tetap tumbuh setelah Pandemi Covid-19 berhasil dikendalikan.
"Leadership kepemimpinan Pak Jokowi, Presiden Republik Indonesia sudah teruji dalam proses mengendalikan Covid-19 dan ini tinggal bagaimana kita meraciknya," ucap dia.
Menurut dia, yang menyebabkan 28 negara ini akhirnya harus menjadi pasien IMF karena perekonomiannya tidak mampu pulih diawali dari tekanan yang mereka hadapi dari dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina sejak 2018.
Saat perekonomian banyak negara terdampak perang perdagangan antara Amerika dan Cina, dilanjutkan dengan munculnya pandemi Covid-19 yang menyebabkan perekonomian banyak negara terkontraksi. Itu belum selesai, muncul perang senjata antara Rusia dan Ukraina yang mengakibatkan krisis energi dan pangan dunia.
"Jadi ibarat daya tahan tubuh sudah lemah, ditambah lagi pukulan perang antara Ukraina sama Rusia, dampaknya ini pangan sama energi dan ini hampir semua negara kena," ujarnya .
Indonesia sebetulnya tidak terlepas dari dampak tekanan ekonomi global itu. Apalagi, harga minyak dunia kata Bahlil telah meroket dari mulanya sektiar US$ 63 per barel kini menjadi US$ 100 dolar per barel lebih.
"Apa enggak keok. Sekarang nilai tukar rupiah kita sudah hampir Rp 15 ribu lebih, Inggris saja yang begitu negara hebat dia mengalami krisis energi," katanya.
Ia menekankan, Indonesia berhasil menjaga daya tahan perekonomiannya karena kemampuan menjaga fundamental ekonominya. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pun terus disehatkan dengan defisit semakin rendah. Sedangkan negara lain seperti Inggris malah sebaliknya.
"Dia melakukan semua kebijakan dengan menurunkan pajak agar memicu konsumsi, mensubsidi sebagain upah, tapi di respons negatif oleh pasar keuangan, poundsterling jatuh dan sekarang sudah mulai naik lagi tapi kan kondisi ini semaunya tidak menentu," kata Bahlil.
Baca Juga: Luhut Gunakan Istilah Perang Rakyat Semesta untuk Antisipasi Resesi, Apa Artinya?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.