TEMPO.CO, Jakarta - Rupiah ditutup menguat 55 poin di level Rp 15.192 pada perdagangan sore hari ini, Rabu, 5 Oktober 2022 bila dibandingkan pada penutupan sebelumnya di level Rp15.247 per dolar AS. Padahal sebelumnya nilai tukar rupiah sempat menguat 75 poin.
Menurut Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, rupiah menguat di antaranya karena pergerakan indeks dolar AS. "Dolar sedikit menguat walaupun sebelumnya sempat melemah, tetapi ayunannya lebih rendah," ujarnya dalam keterangan tertulis.
Ia memperkirakan volatilitas dolar akan berakhir tiba-tiba dalam beberapa hari mendatang karena data pekerjaan bulanan AS pada hari Jumat berpotensi untuk menenggelamkan harapan baru-baru ini dari Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed).
Berdasarkan data pada Jumat pekan lalu, 30 September 2022, diperkirakan bakal tercipta sekitar 250.000 pekerjaan di Amerika Serikat. Angka tersebut di bawah 315.000 yang terlihat pada Agustus, dengan perkiraan pendapatan rata-rata per jam tetap stabil di sekitar 0,3 persen dan tingkat pengangguran di 3,8 persen.
Ia menuturkan pasar tenaga kerja yang tetap ketat itu telah mengancam kenaikan upah. The Fed telah memperjelas bahwa hal itu dapat memperlambat ekonomi dan pertumbuhan pekerjaan tetap menjadi pusat rencananya untuk mendinginkan inflasi.
Baca Juga:
Terhadap latar belakang inflasi yang panas, Ibrahim berujar, bos The Fed Jerome Powell bersikeras pada pendekatan kebutuhan untuk mempercepat untuk mendapatkan suku bunga acuan ke wilayah yang membatasi dan telah berulang kali mendorong kembali terhadap taruhan pada poros Fed.
"Tetapi gelombang data ekonomi global yang lebih lemah baru-baru ini telah menghidupkan kembali harapan poros Fed, mendorong imbal hasil Treasury lebih rendah dan menekan greenback," ujarnya.
Namun, bila The Fed memberi sinyal jeda, kemungkinan suku bunga dana akan berada pada 3 persen hingga 3,25 persen. Level tersebut menunjukkan masih ada banyak ruang hingga mencapai puncak yang diharapkan, atau tingkat terminal sekitar 4,5 persen. Situasi itu yang dinilai bakal menyisakan banyak amunisi untuk dolar untuk menghentikan penurunannya.
Di sisi lain, pasar terus memantau perkembangan penanganan atau antisipasi pemerintah dalam tahun depan untuk menahan laju inflasi yang cukup tinggi. Apalagi, menurutnya sebagian negara-nergara Eropa sudah terdampak resesi sehingga perlu ada amunisi baru untuk menanggulanginya.
"Walaupun saat ini sudah ada strategi bauran ekonomi yang dijadikan andalan baik oleh pemerintah maupun Bank Indonesia," ucap Ibrahim.
Lebih jauh ia menyatakan tahun 2023 bakal lebih menantang karena ada bahaya resesi yang terus menghantui. Terlebih beberapa negara di dunia tengah mengalami dampak resesi tersebut. Oleh karena itu, menurut Ibrahim, peran pemerintah menjadi sangat penting untuk mendorong permintaan dari masyarakat.
Ia menilai keinginan pemerintah mendorong terjadinya konsolidasi fiskal untuk mendorong permintaan atau demand dari masyarakat menjadi cukup menantang, tetapi masih bisa dilakukan. Artinya, ruang fiskal yang ditargetkan di tahun depan mencapai 2,8 persen terhadap PDB.
Ibrahim menyarankan defisit anggaran dimaksimalkan atau diprioritaskan kepada pos-pos belanja yang bisa memberikan efek ganda ke perekonomian. Pemerintah sebenarnya juga masih bisa membuka opsi untuk menambah defisit anggaran, misalnya menjadi 2,9 atau bahkan 2,95 persen terhadap PDB untuk mengakomodasi belanja yang diperuntukkan untuk masyarakat langsung seperti misalnya bantuan sosial.
Untuk perdagangan besok, Ibrahim memperkirakan mata uang rupiah dibuka berfluktuatif namun ditutup melemah. Rupiah diprediksi bakal bergerak di kisaran Rp 15.180 hingga Rp 15.260 per dolar AS.
Baca: Kemenkeu Sebut Dampak Kenaikan Harga BBM ke Inflasi Lebih Rendah dari Perkiraan, Kenapa?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.