TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan perekonomian Indonesia kemungkinan bisa tumbuh di tengah ancaman reses global 2023. Dia memproyeksikan angka pertumbuhan tahun depan mungkin bisa mencapai 4,6 persen tapi lebih rendah dari tahun ini.
“Ya mungkin kita bisa tumbuh. Sekarang gini deh, demografi kita besar, itu kan dari basis konsumsi gitu, jadi proyeksinya mungkin bisa 4,6 persen pertumbuhan tahun depan, tapi lebih rendah dari tahun ini,” ujar dia melalui sambungan telepon Sabtu malam, 1 Oktober 2022.
Dia menilai perekonomian Indonesia akan tetap tumbuh positif tapi under performance. “Jadi kita kayak under performance gitu ya. Karena ada ancaman resesi tadi,” tutur Bhima.
Hal itu terjadi karena beberapa koreksi seperti pelemahahan nilai tukar rupiah terhadap dolar secara kontinu yang kemungkinan akan mencapai titik Rp 15.700 sampai Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat. “Itu masih dalam batas yang moderat,” kata dia.
Pelemahan nilai tukar rupiah itu juga bisa menyebabkan imported inflation dari biaya impor terutama impor pangan yang ketergantungannya makin tinggi, seperti gula, garam, gandung, bawang putih, dan daging. Itu kemungkinan bisa mempengaruhi biaya bahan baku dari inflasi 2023.
Selanjutnya adalah stagflasi di dalam negeri. Menariknya, dia berujar, setelah melihat data pengangguran usia muda, yang sebelumnya pada tahun 1997 itu angkanya 14,6 persen, tahun 2021 angkanya menjadi 16 persen.
“Jadi situasi sekarang sebenarnya, stagflasi ini kan kondisi harga barang naik tidak imbangi oleh kesempatan kerja, jadi harga barangnya naik, inflasinya diperkirakan tahun ini 7 persen lebih sementara dari kesempatan lerjanya terbatas,” ucap Bhima.
Dia menilai hal itu risiko dan efeknya bisa kemana-mana. Mulai dari pendapatan negara, juga aktivitas konsumsi rumah tangga, realisasi investasi. “Karena kan orang mau investasi melihat domestiknya masih solid apa enggak. Ya jadi itu risikonya,” tutur Bhima.
Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Faisal Rachman juga menanggapi ancaman resesi global 2023 terhadap perekonomian Indonesia. Menurut dia, untuk mengalami resesi masih sangat kecil kemungkinannya, karena ekonomi Indonesia degree of openness-nya tidak terlalu tinggi.
“Jadi mayoritas ekonomi Indonesia ditopang oleh kegiatan ekonomi domestik seperti konsumsi rumah tangga,” ujar dia kepada Tempo pada Selasa, 27 September 2022.
Dampaknya yang mungkin terasa, kata Faisal, adalah penurunan kinerja ekspor karena permintaan global turun, dan harga komoditas juga kemungkinan turun. Jadi Indoensia bisa kembali mengalami defisit neraca dagang, dan seiring harga komoditas yang turun, penerimaan negara terutama dari Le Programme National de Développement Participatif (PNDP) bisa turun juga.
Jadi, menurut Faisal, indikasi yang bisa dilihat paling cepat adalah turunnya kinerja ekspor, nercara dagang yang berisiko kembali defisit, dan penerimaan negara yang turun. Selain itu, tekanan akan dirasakan pada nilai tukar rupiah karena investor cenderung akan mengalihkan dananya ke safe haven seperti dolar Amerika.
“Sektor usaha yang paling cepat terdampak adalah sektor-sektor yang ekspor oriented terutama terkait komoditas. Betul (peluang yang harus digarap untuk pertumbuhan tahun depan adalah pasar domestik), terutama dalam menjaga daya beli,” ucap dia.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini