Tercatat ada 12 gugatan uji formil maupun materil yang dilakukan oleh berbagai organisasi gerakan rakyat, seperti dari buruh, masyarakat adat, gerakan lingkungan dan pekerja migran terhadap UU Cipta Kerja itu. Setelah melalui berbagai tahapan persidangan dalam waktu satu tahun, pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat.
"Ini merupakan putusan uji formil pertama yang disahkan oleh mahkamah; Amar putusan MK juga menyatakan bahwa tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan atau kebijakan strategis dan berdampak luas, termasuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja," kata Said Iqbal.
Keenam, buruh menganggap pemerintah tidak melaksanakan amanat Undang-undang Pangan. Alih-alih melaksanakan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan itu, kata dia, pemerintah justru menghadirkan UU Cipta Kerja yang menghapus atau mengubah beberapa pasal penting dalam beleid lama.
Said mencontohkan dihapuskannya klausul "impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan", yang diganti menjadi impor pangan saja. Ini menyebabkan sumber penyediaan pangan dapat berasal dari impor pangan. "Peraturan ini tentu saja merugikan petani karena keran impor pangan dibuka selebar-lebarnya dalam UU Cipta Kerja. Meskipun UU Cipta Kerja telah diputuskan Inkonstitusional Bersyarat oleh MK, pemerintah masih saja memaksakan pelaksanaan UU Cipta Kerja," tutur Said.
Ketujuh, buruh menyoroti UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) yang tidak dijalankan. Pemerintah belum menjalankan putusan MK Nomor 87/PUU-XI/2013 terhadap Uji Materi UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan). Putusan ini sejatinya sudah ada sejak 2014 lalu, tapi belum kunjung direalisasikan.
Dampak dari sikap pemerintah itu, Said berujar, adalah terjadinya diskriminasi terhadap kelembagaan petani dalam menikmati akses dan kesempatan yang setara terhadap bantuan dan program dari pemerintah. Salah satunya kebijakan pupuk subsidi yang mengharuskan petani harus terdaftar sebagai anggota Poktan dan Gapoktan.
Catatan kedelapan, buruh mengktirik subsidi dan bantuan untuk petani yang belum ada perbaikan, seperti pupuk. Said Iqbal menilai amburadulnya pendistribusian pupuk subsidi mengakibatkan kelangkaan. Karena masalah itu, banyak petani tidak mendapatkan pupuk subsidi. Pada saat bersamaan, petani menghadapi masalah kenaikan harga pupuk non-subsidi yang pesat.
Tak hanya buruh, Ombudsman pun sudah membuat laporan soal tata kelola pupuk bersubsidi di Indonesia yang dinilai tidak efektif. "Belum lagi penyaluran teknologi pertanian yang tidak merata, cenderung tidak tepat guna dan tidak sesuai dengan kebudayaan lokal menyebabkan pertanian berbiaya tinggi, kerusakan alam dalam jangka panjang dan jauh dari prinsip pertanian agroekologis," tutur Said.
Kesembilan, buruh mengkritik jaminan harga yang layak bagi petani. Beberapa bahan pangan mengalami gejolak harga sepanjang 2022, salah satunya minyak makan sawit--termasuk TBS sawit. Menurut dia, petani kerap mendapatkan harga yang tidak layak, kendati harga bahan pangan di tingkat konsumen mengalami kenaikan, seperti bawang merah, telur ayam, daging, dan lain-lain.
Terakhir atau kesepuluh, buruh melihat bahwa kesejahteraan petani belum terwujud. Salah satu ukurannya adalah Nilai Tukar Petani (NTP) yang fluktuatif selama 2022. Jika dilihat dari NTP, sejauh ini sektor pertanian masih ditopang oleh subsektor perkebunan rakyat (yang tata kelolanya juga masih tergantung pada korporasi). Sementara itu subsektor lainnya pun belum sepenuhnya sejahtera dan dari ukuran NTP, kerap kali di bawah standar impas (di bawah 100).
Pada Agustus 2022, nilai NTP berada di 106,31. Penurunan NTP disinyalir terjadi akibat penurunan di subsektor NTP perkebunan, yang selama ini menjadi penopang utama NTP Nasional. Reforma Agraria yang tidak kunjung dijalankan secara total dan cepat, kata Said, tidak hanya merugikan petani.
Kelas pekerja lainnya seperti buruh, nelayan, masyarakat adat, masyarakat perdesaan dan pekerja informal ikut menanggung dampaknya. "Ketimpangan penguasaan, kepemilikan, dan pamanfaatan tanah di perdesaan akan terus melanjutkan migrasi penduduk secara besar-besaran dari desa ke kota. Sementara keterbatasan lapangan pekerjaan menciptakan kompetisi yang tidak sehat diantara kelas pekerja," kata dia.
Berpijak pada catatan-catatan tersebut, buruh pun menuntut agar pemerintah melaksanakan reforma agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang menyertainya. Buruh juga menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). "Serta menolak pemberlakuan omnibus law UU Cipta Kerja," ujar Said.
Baca juga: RI dan India Sepakati Kontrak Dagang di TIIMM G20, Nilainya Hampir Rp 15 Triliun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini