TEMPO.CO, Jakarta - Partai Buruh dan Serikat Petani Indonesia (SPI) menggelar demo di Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Sabtu, 24 September 2022. Demo itu bertepatan dengan peringatan Hari Tani Nasional.
"Bertepatan dengan momentum Hari Tani, kami menyampaikan, setidaknya terdapat sepuluh hal yang menjadi catatan kritis Partai Buruh terhadap pelaksanaan reforma agraria di Indonesia," ujar Presiden Partai Buruh Said Iqbal lewat keterangan tertulis pada Sabtu, 24 September 2022.
Dalam aksi demo, buruh menyuarakan sepuluh catatan dan tuntutan atas kegagalan pemerintah dalam melaksanakan reforma agraria. Pertama, buruh menyoroti ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah. Laporan Penelitian Badan Pertanahan Nasional 2019 menunjukkan luas tanah pertanian yang dimiliki petani berdasarkan hasil Sensus Pertanian menunjukkan distribusi yang tidak merata.
Petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektare mendominasi, yakni sebanyak 16,25 juta rumah tangga atau hampir 60 persen, menurut hasil survei pertanian antar sensus (Sutas BPS 2018). Selama empat dekade, rasio kepemilikan tanah berfluktuasi pada rentang nilai 0,50 - 0,72 ketare.
Nilai tersebut, menurut kelompok buruh, berada dalam kelas ketimpangan sedang (0,4 ≤ G ≤ 0,5) dan tinggi (G>0,5). Berdasarkan data BPS, ketimpangan kepemilikan tanah pada 2013 mencapai 0,68, yang berarti 68 persen sumber daya tanah yang ada dikuasai oleh hanya 1 persen kelompok penduduk Indonesia. "Ketimpangan ini yang menyebabkan konflik agraria masih terjaga dan sangat banyak yang belum kunjung selesai," kata Said Iqbal.
Catatan kedua, buruh menyoroti kemiskinan yang masih didominasi di wilayah perdesaan. Per Maret 2022, BPS menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia menembus 26,16 juta jiwa atau sekitar 9,54 persen dari total penduduk.
"Jumlah penduduk miskin paling banyak tersebar di pedesaan, yakni 14,34 juta orang; sementara di wilayah perkotaan jumlah penduduk miskin mencapai 11,82 juta orang," kata Said Iqbal.
Ketiga, penyelesaian konflik agraria dinilai masih lambat. Menurut Said Iqbal, Presiden Jokowi sudah meminta Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria (PPKA-PKRA) 2021 menyelesaikan 50 persen kasus. Namun target itu tidak tercapai. Akibatnya, angka konflik agraria di Indonesia masih tinggi.
SPI mencatat sekurang-kurangnya terjadi 104 kasus konflik agraria selama 2021. Dari data tersebut, konflik agraria masih didominasi oleh sektor perkebunan (46 kasus), diikuti oleh pertambangan (20 kasus), kehutanan (8 kasus), pesisir (4 kasus), dan proyek strategis nasional (4 kasus).
Catatan keempat, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) itu melanjutkan, progres redistribusi tanah bagi petani lambat, meski pemerintah menyebut ada kemajuan dalam hal target redistribusi. Sistem Informasi Geografis Tanah Objek Reforma Agraria (SIG-TORA) per 10 September 2022 menunjukan capaian legalisasi lebih besar daripada redistribusi.
Redistribusi tanah yang berasal dari tanah Ex-HGU, tanah telantar, dan tanah negara lainnya sudah terealisasi seluas 1,16 juta hektare. Sementara itu untuk pelepasan kawasan hutan, baru tercapai seluas 0,32 juta hektare atau 7,83 persen. Walhasil, total redistribusi baru mencapai 1,48 juta hektare atau 37 persen dari target 4,5 juta hektare. Capaian tersebut berbanding terbalik dengan realisasi legalisasi aset yang sudah menyentuh angka 4,14 juta hektare atau dari terget 4,5 juta hektare.
"Oleh karena itu, sesungguhnya capaian redistribusi tersebut belum dirasakan oleh para organisasi petani dan gerakan tani di Indonesia," ucap Said Iqbal. "Reforma Agraria cenderung difokuskan hanya pada sertifikasi dan legalisasi, bukan upaya merombak ketimpangan penguasaan tanah dan menyelesaikan konflik agraria."
Kelima, buruh menyoroti lahirnya UU Cipta Kerja yang berseberangan dengan spirit UUPA 1960 dan Reforma Agraria Sejati. Substansi UU Cipta Kerja yang mengakomodasi kepentingan modal dan investasi menjadi legitimasi untuk merampas tanah milik petani, masyarakat adat, dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.