Kemudian pada tahun 2019-2020, hanya dengan lemon, ia bisa melakukan inovasi produk, diawali dengan sari lemon, memunculkan olahan lain seperti sirup, lemon dehydrate atau lemon celup, selai, sampai ada krispi lemon dari kulitnya. Nafis memasarkan produknya melalui situs jual beli nasional dan ekspor yang dilirik oleh salah satu perusahaan asal Jepang.
“Alhamdulillah setelah itu ada kunjungan dari Jepang dari salah satu perwakilan perusahaan untuk penjajakan, dan ada permintaan walaupun tidak banyak tapi rutin,” tutur pengusaha lemon asal Lampung itu.
Selain Jepang, sari lemonnya juga sudah diekspor ke beberapa negara seperti Mesir dan Mesir. Sementara produk lemon dehydrate sudah masuk ke pasar Singapura. “Ternyata permintaan pasarnya luar biasa, ada dari cafe-cafe terus beberapa pengguna lemon itu banyak yang berminat.”
Hingga saat ini, Nafis bermitra dengan beberapa petani dan pemilik lahan seluas antara 1.000-1.500 hektare yang tersebar di beberapa wilayah di bawah pendampingannya. Mulai dari wilayah Lampung, ada di Kabupaten Tanggamus, Pesisir Barat, Lampung Barat, dan Pringsewu. Selain untuk budidaya lemon, di lahan itu juga Nafis mengembangkan produk pertanian lainnya.
Menurut dia prospek dari kegiatan usahanya cukup baik, karena dari produk pertanian yang belum memiliki nilai ekonomi tinggi, bisa diolah di desa itu sendiri. “Kita olah tidak jauh dari tempat produksinya dan pakai tenaga kerja lokal, itu mengurangi laju urbanisasi dan juga meningkatkan pendapatan masyarakat di desa,” ucap dia.
Harga beli lemon tadinya hanya Rp1.000, lalu meningkat menjadi Rp1.500 sampai Rp2.000, tapi kata Nafis, dia bisa membeli lebih dari harga itu. Ada kenaikan 30-50 persen dari yang sebelumnya dipasarkan secara fresh, kecuali hasil sortir yang kualitasnya bagus, sementara yang kualitasnya sedang itu diolah.