TEMPO.CO, Jakarta – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov, menilai pemberian bantalan sosial atau bansos sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) belum solutif. Pasalnya, nominal yang diberikan pemerintah sangat kecil.
“Bansos yang Rp 150.000 itu kalau dirata-rata, sehari hanya dapat Rp 5.000 untuk satu rumah tangga,” ujar Abra kepada Tempo, Minggu, 4 September 2022.
Selain nominalnya yang kecil, Abra menilai target sasarannya belum memadai. Dia menuturkan masih ada kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan. Masyarakat tersebut, kata dia, harus menanggung kenaikan harga-harga kebutuhan.
Dia mencontohkan bantuan yang hanya menyasar sektor pekerja dengan gaji Rp 3,5 juta per bulan atau UMR. Bagi pekerja dengan gaji sedikit di atas UMR juga tidak mendapatkan bantuan. “Misal UMR Rp 3,5 juta tapi gajinya Rp 3,7 juta. Mereka mengalami inflasi tapi tidak mendapat bantuan,” kata Abra.
Bansos ini dinikmati pekerja yang tercatat di basis data BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, masih ada pekerja informal yang jumlahnya tidak sedikit dan tidak mendapatkan bansos.
“Tapi dari sisi dampak kenaikan inflasi, mereka turut menanggung beban itu,” kata Abra. “Ini yang saya pikir pemerintah juga perlu memperhatikan potensi terjadinya tingkat kemiskinan akibat meningkatnya garis kemiskinan dan stagnannya pendapatan masyarakat."
Ihwal potensi kenaikan tingkat kemiskinan akibat kenaikan harga BBM juga disinggung anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto. Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyebut kenaikan harga BBM akan berdampak pada melonjaknya harga pangan. Hal tersebut, akan menimbulkan efek multiplier.
“Garis kemiskinan bisa bergser karena kenaikan harga BBM bersubsidi, sehingga akan muncul orang miskin baru,” kata Mulyanto dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 4 September 2022.
Kendati subsidi BBM dialihkan dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) untuk orang miskin terbawah, Mulyanto mengatakan bantuan tersebut masih memiliki pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Salah satunya soal akurasi pogram Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang masih dipertanyakan Badan Pemeriksa Keuangan, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Termasuk kasus bocornya dana BLT karena fraud,” ucap Mulyanto.
Kemarin Sabtu, 3 September 2022, pemerintah secara resmi menaikkan harga BBM bersubsisi jenis Pertalite dan Solar. Harga Pertalite yang sebelumnya Rp 7.650 per liter kini menjadi Rp 10.000 per liter. Sementara harga Solar naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Begitu pula dengan harga BBM nonsubsidi jenis Pertamax yang naik dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini