TEMPO.CO, Jakarta - Maskapai penerbangan saat ini masih membutuhkan berbagai insentif dari pemerintah, utamanya karena proses pemulihan ekonomi masih berlangsung. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association atau INACA Denon Prawiraatmadja.
Oleh sebab itu, menurut Denon, relaksasi dari sisi komponen biaya operasional yang telah diberikan pemerintah melalui pembebasan tarif Jasa Pendaratan, Penempatan dan Penyimpanan Pesawat Udara (PJP4U) hingga naiknya biaya tambahan (tuslah) terhadap tarif penumpang turut memengaruhi proses pemulihan.
"Itu dampaknya adalah ke percepatan recovery atau perlambatan recovery," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perhubungan itu saat dihubungi Ahad, 7 Agustus 2022.
Apalagi, dia melanjutkan, selama pandemi Covid-19 berlangsung, industri penerbangan juga paling terdampak. Hal tersebut diperparah dengan masih adanya kewajiban-kewajiban maskapai penerbangan yang juga belum dibayarkan, terutama yang masuk ke dalam komponen biaya operasional pesawat.
"Dari operasional maskapai, 60 persen biaya untuk leasing dan biaya avtur. Kalau kita lihat dua tahun belakangan, 2020, 2021, itu kan ada pembayaran tertunda, yang tentu harus menjadi pekerjaan rumah masing-masing maskapai menyelesaikan," kata Denon.
Di sisi lain, dia melanjutkan, jumlah kapasitas pesawat maskapai penerbangan juga belum sepenuhnya pulih. Oleh sebab itu, agar armada pesawat bisa pulih dari saat ini hanya sekitar 40 persennya dari total kapasitas pada sebelum 2019, perlu berbagai insentif.
Untuk insentif pembebasan tarif pemerimaan negara bukan pajak dari biaya jasa PJP4U pada Unit Pelaksana Bandar Udara (UPBU) pemerintah misalnya, kata Denon, turut memengaruhi komponen biaya tiket pesawat supaya bisa lebih murah. Ini katanya tentu akan mendorong gairah konsumsi masyarakat di sektor industri pesawat terbang.