TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad memperkirakan Bank Indonesia (BI) bakal menaikkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat untuk mengimbangi laju inflasi yang terus naik.
"Tidak ada lagi stand poin bank sentral mempertahankan suku bunga acuannya karena inflasi inti angkanya sudah mendekati 3 persen dan ini akan menahan laju pertumbuhan ekonomi terutama kuartal III dan IV," kata Tauhid saat konferensi pers secara daring, Ahad, 7 Agustus 2022.
Tauhid menjelaskan, kebijakan bank sentral diambil lantaran inflasi inti yang juga terus menerus meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Kondisi tersebut menyebabkan ruang bank sentral mempertahankan suku bunga acuan semakin kecil. Jika suku bunga acuan terus dibiarkan diposisi sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia kian tergerus.
Pada awal bulan Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi di Indonesia secara tahunan bertengger di posisi 4,94 persen atau naik dari posisi bulan sebelumnya sebesar 4,35 persen. Di tengah kenaikan angka inflasi, inflasi inti pun tumbuh menjadi 2,86 persen, lebih tinggi dibandingkan inflasi inti pada Juni 2022 yang sebesar 2,63 persen.
Adapun inflasi kelompok bahan pangan bergejolak 11,47 persen dan inflasi kelompok harga yang diatur pemerintah 6,51 persen. Kenaikan inflasi untuk komponen harga pangan bergejolak atau volatile food, menurut Tauhid, akan terus terjadi.
Baca Juga:
Kenaikan itu utamanya disebabkan oleh tingginya harga-harga cabai merah kriting, bawang merah, serta telur dan daging ayam yang masih dipicu kondisi cuaca atau iklim. "Akan menjadi satu problem yang cukup serius karena disebabkan cuaca dan iklim. Namun kita tidak melihat kemampuan pemerintah mengatasi persoalan tersebut bertahun-tahun dan tidak ada terobosan massal," ucap Tauhid.
Pada saat yang sama, komponen administered price, pun bakal terus mengalami kenaikan inflasi, terutama ditopang oleh naiknya harga rokok, tiket pesawat, hingga bahan bakar minyak (BBM). Untuk rokok, dia mengatakan pemerintah telah menaikan tarif cukai menjadi sektiar 12 persen dan kretek 4,5 persen sehingga tiap bulan industri harus terus menyesuaikan.
Adapun untuk tiket pesawat, kata dia, kelompok ini masih akan menjadi salah satu komponen utama pendorong inflasi karena tarif avtur sebagai bahan bakar pesawat terus melambung akibat tngginya harga minyak dunia. Di sisi lain, dia menganggap saat ini tidak ada lagi persaingan industri di sektor penerbangan.
"Tidak ada lagi persaingan tiket pesawat antar-maskapai karena ada dominasi maskapai penerbangan, dan maskapai umumnya mengalami kerugian selama 2 tahun sehingga sampai saat ini berlaku harga tiket pesawat masih relatif tinggi," kata Tauhid.
Sementara itu, untuk harga BBM, dia berujar, ada pengaruh harga energi dunia yang terus terkerek akibat adanya gangguan dari sisi pasokan karena dampak perang Ukraina dan Russia. Ruang fiskal pemerintah untuk mengendalikan BBM subsidi, kata dia, semakin menyempit.
"Memang tampaknya anggaran pemerintah tidak mungkin bisa mensubsidi begitu besar ya dan ini berimplikasi sampai akhir tahun inflasi tinggi akan menjadi momok yang cukup berat bagi ekonomi kita," ujar Tauhid.
Baca juga: Gara-gara Avtur, Maskapai Diizinkan Naikkan Harga Tiket Pesawat hingga 15 Persen
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.