Untuk pengembangannya, Gulat berpendapat sebaiknya pabrik minyak makan merah dikelola oleh koperasi, sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Namun, bukan berarti kebijakan itu mengubah sebuah lembaga koperasi menjadi perusahaan.
Tujuan pengelolaan oleh korporasi ini adalah menjadikan koperasi memiliki basis manajemen yang lebih baik dengan cakupan yang lebih luas. Koperasi itu pun diharapkan dikelola oleh tenaga profesional.
Gulat memperkirakan, jika koperasi yang mengelola pabrik tersebut hadir di 22 provinsi dengan jumlah paling tidak lima pabrik per provinsi, bakal ada 110 pabrik minyak merah yang tersebar di seluruh Indonesia. Kapasitas produksinya diproyeksikan bisa menembus 10 ton per hari.
"Maka sudah menghasilkan minyak goreng per bulan sebanyak 33 ribu ton," kata dia.
Adapun saat ini kebutuhan minyak goreng sawit Indonesia per bulan mencapai 200 juta liter atau 160 juta kilogran. Mengacu pada angka kebutuhan masyarakat itu, keberadaan pabrik minyak makan merah dipandang bakal membantu 21 persen untuk pemenuhan pasokan nasional.
Gulat menuturkan satu pabrik minyak makan merah dengan kapasitas produksi 10 ton per hari membutuhkan biaya Rp 15 miliar. Maka, kebutuhan total untuk membangun pabrik, menurutnya, berkisar Rp 1,65 triliun. Angka itu dipandang lebih kecil ketimbang kerugian yang dirasakan petani sawit akibat turbulensi harga tandan buah segar (TBS) yang mencapai Rp 26 Triliun.
"Kerugian ini belum lagi dari segi hilangnya pendapatan negara dari bea keluar dan korporasi yang ikut terdampak. Kita habis energi bertengkar karena minyak goreng yang seharusnya sangat sederhana solusinya," ucapnya.
Baca juga: Jokowi Dorong Pabrik Minyak Makan Merah, Pengusaha Sawit: Harus Ekonomis
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.