TEMPO.CO, Jakarta -Pemerintah menarik pajak pertambahan nilai atau PPN terhadap jasa penyelenggara layanan teknologi finansial atau fintech mulai 1 Mei 2022. Adanya irisan dengan aktivitas perbankan membuat pemerintah menerbitkan aturan baru terkait pajak untuk layanan fintech itu.
Kepala Sub Direktorat PPN, Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Bonarsius Sipayung menjelaskan bahwa pengenaan pajak terhadap jasa fintech bukan merupakan sesuatu yang baru. Sebelumnya jasa itu sudah terutang PPN.
Adanya irisan dengan aktivitas perbankan membuat pemerintah menerbitkan aturan baru, yakni melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang PPh dan PPN atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Beleid itu ditetapkan Sri Mulyani pada 30 Maret 2022 dan mulai berlaku pada 1 Mei 2022.
Bonar menjelaskan bahwa aturan baru itu mengenakan pajak terhadap jasa dari pihak yang memfasilitasi transaksi. Artinya, pengenaan pajak bukan secara langsung terhadap nilai milik pelaku transaksi di fintech. "Misalnya melakukan top up e-wallet, layanan top up itu ada biaya. Yang dikenakan PPN itu adalah 11 persen terhadap biaya top up, jasa yang tadi difasilitasi fasilitator," ujar Bonar pada Selasa, 6 April 2022.
Misalnya, Andi melakukan top up Rp 100.000 ke e-wallet miliknya. Aplikasi ABCD mengenakan biaya top up senilai Rp 1.000, sehingga PPN dari transaksi itu adalah 11 persen x Rp1.000, yakni Rp 110. Nilai yang dibayarkan Andi bergantung kepada kebijakan dari perusahaan ABCD. Jika biaya top up itu sudah termasuk PPN maka Andi akan mengeluarkan Rp 101.000, tetapi jika biaya itu tidak termasuk PPN maka Andi mengeluarkan Rp 101.110.
"Kalau top up sejuta dan kena pajak ke sejuta itu enak banget dong, uang saya hilang [karena pajak]. Jadi itu [pajak terhadap] imbalan jasa, enggak ada kaitan dengan dana yang di-top up," ujar Bonar.