“Pekerja yang mengundurkan diri dan diputus hubungan kerjanya (PHK), sudah tidak lagi masuk dalam kategori peserta karena ia sudah tidak bekerja dan berhenti membayar iuran,” katanya.
Mirah Sumirat mengatakan Permenaker No. 19/2015 justru melindungi hak pekerja dengan memberikan hak untuk memilih apakah akan mencairkan manfaat Jaminan Hari Tua pada saat berhenti bekerja atau pada saat memasuki usia pensiun.
Oleh karena itu, ia meminta Menteri Ketenagakerjaan serius menjalankan perintah Presiden Joko Widodo dan tidak mengutak-atik tata cara pencairan JHT. Sebab, dana JHT adalah milik pekerja dan tidak ada dana sepeserpun dari pemerintah.
“Polemik JHT karena terbitmya Permenaker No. 2/2022 membuktikan adanya kegagalan komunikasi politik antara Menteri Ketenagakerjaan dengan Presiden, sehingga Presiden tidak mendapat informasi yang utuh terkait filosofi kepesertaan JHT,” ucapnya.
Mirah Sumirat juga menduga, Menteri Ketenagakerjaan masih akan bermanuver dengan membuat revisi Permenaker No. 2/2022 yang tidak sesuai dengan filosofi dasar kepesertaan JHT.
Dia juga mengkritisi minimnya peran dan kinerja Dewan Pengawas yang ada di BPJS Ketenagakerjaan karena tidak sensitif terhadap polemik JHT yang merugikan kepentingan pekerja.
“Padahal di Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan ada dua perwakilan dari unsur serikat pekerja,” katanya.
Mirah Sumirat mengatakan Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan justru terkesan berpihak pada kepentingan pengusaha dan pemerintah. “Saya jadi meragukan proses pemilihan Dewan Pengawas di BPJS Ketenagakerjaan karena Panitia Seleksinya dari Kementerian Ketenagakerjaan,” katanya.
MUTIA YUANTISYA
BACA: Partai Buruh Minta Permenaker JHT Cair Usia 56 Tahun Dicabut Tanpa Akal-Akalan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.