TEMPO.CO, Jakarta – Kereta cepat Jakarta-Bandung yang digarap PT Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC) menghadapi berbagai masalah dalam proyek pembangunannya. Belum dua tahun terhitung sejak 2020, setidaknya ada empat kendala besar yang mengganggu proses penyelesaian proyek jumbo tersebut.
- Proyek menimbulkan banjir dan kemacetan
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atau PUPR sempat menginstruksikan untuk menghentikan sementara waktu proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung pada Maret 2020. Penyebabnya karena proyek ini menyebabkan banjit di Jalan Tol Jakarta - Cikampek dan menimbulkan kemacetan serta mengganggu kelancaran kelancaran logistik.
Sebelumnya KCIC mengklaim melakukan tindakan preventif terhadap kondisi cuaca ekstrem dengan mengidentifikasi risiko-risiko yang berkaitan dengan aspek lingkungan. KCIC juga menyatakan telah melakukan langkah-langkah strategis sehingga pembangunan bisa tetap berlangsung dengan lancar.
- Investasi kereta cepat membengkak hingga Rp 27 triliun
Pada pertengahan 2021, biaya investasi kereta cepat membengkak sekitar Rp 27,17 triliun. Manajemen saat itu menjelaskan penyebab utama cost overrun adalah konstruksi atau EPC dan pembebasan lahan. Pembebasan lahan untuk proyek sepur cepat sulit lantaran jalur yang dilalui sangat luas dan melewati daerah komersial.
Bengkaknya biaya itu juga disumbang oleh biaya pendanaan atau financing cost. Keterlambatan proyek menyebabkan beban keuangan berupa bunga selama konstruksi membengkak. Di samping itu, biaya head office dan pra-operasi pun melar.
Kenaikan biaya EPC diestimasikan sebesar US$ 0,6 miliar sampai dengan US$ 1,2 miliar, kenaikan biaya pembebasan lahan sekitar US$ 0,3 miliar, kenaikan biaya head office dan pra-operasi US$ 0,2 miliar, kenaikan biaya pendanaan US$ 0,2 miliar, dan kenaikan biaya lainnya US$ 0,05 miliar.
Dengan demikian, estimasi cost overrun ini adalah sekitar US$ 1,4 miliar sampai US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 27,17 triliun, dari rencana awal US$ 6,07 miliar. Dari pembengkakan biaya itu, pihak Indonesia yang terdiri dari konsorsium perusahaan BUMN, diperkirakan harus menanggung Rp 4,1 triliun.