TEMPO.CO, Jakarta -Ombudsman meminta PT Pertamina (Persero) mengevaluasi alat penangkal petir yang digunakan di kilang minyak. Sebab penangkal petir Pertamina yang sudah berstandar internasional dinilai perlu dimodifikasi agar sesuai dengan karakteristik petir di tanah air.
"Itu hasil pembahasan kajian Ombudsman bersama ahli petir dari Institute Teknologi Bandung (ITB)," kata anggota Ombudsman Hery Susanto dalam keterangan tertulis, Minggu, 14 November 2021.
Permintaan ini disampaikan usai insiden kebakaran tangki berisi Pertalite di kilang refinery unit atau RU IV Cilacap, Jawa Tengah. Kebakaran terjadi Sabtu malam, pukul 19.20 WIB, 13 November dan baru bisa padam total Minggu pagi ini, pukul 7.45 WIB.
Selain itu, permintaan ini juga disampaikan karena Hery mengaku menerima langsung informasi kebakaran ini dari Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional Djoko Priyono. Dalam pesan WhatsApp itu, Djoko menyebut tangki terbakar pasca ada sambaran petir.
Adapun ahli petir yang dimaksud oleh Hery adalah Reynaldo Zoro. Pada 25 Oktober 2021, Hery menyebut Ombudsman mengundang Reynaldo ke kantor mereka untuk melengkapi laporan investigasi inisiatif atas kasus kebakaran kilang minyak Balongan, Indramayu, Jawa Barat, Maret 2021.
Dari situlah, Ombudsman mendapat informasi dari Reynaldo bahwa sistem proteksi petir pada industri minyak dan gas di Indonesia secara umum sudah mengikuti standar internasional NFPA 780, API 653, dan API RP 2003.
Standar NFPA 780 mengatakan bahwa tangki yang terbuat dari metal dengan ketebalan 4,8 mm bersifat self-protected terhadap dampak sambaran langsung petir. Sehingga, kata Hery merujuk pada informasi dari Reynaldo, tidak memerlukan adanya proteksi petir tambahan.
Namun berdasarkan statistik, Hery menyebut tangki di Indonesia hampir setiap tahun terbakar dan meledak akibat sambaran petir. Ia menduga kondisi ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik petir di Indonesia yang beriklim tropis dengan karakteristik petir yang beriklim subtropis.