Sementara, ekonom UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menyebut LCS membuat biaya perdagangan Indonesia Cina turun, sehingga inflasi Indoensia pun lebih rendah. Hanya saja, proporsi penggunaan mata uang lokal ini masih 5 persen, dari total perdagangan dengan semua negara yang sudah diajak kerja sama.
Lutfi kemudian bercerita bahwa di tengah pandemi ini ada pola yang sama di antara negara pemilik mata uang utama. Seperti Amerika hingga negara-negara di Eropa, mereka melakukan kebijakan quantitative easing atau mencetak uang. "Kemarin mereka (Amerika), mereka besar sekali, kalau tidak salah 12 persen GDP," kata Lutfi.
Indonesia memang juga melakukan quantitative easing, kata Lutfi, walau dampaknya tidak sebesar negara dengan mata uang utama. Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI), mereka telah melakukan quantitative easing Rp 845 triliun sejak 2020 atau 5,3 persen GDP.
Sejalan dengan kebijakan itu, penggunaan dolar juga masih mendominasi. Lutfi lalu mencontohkan saat ini pembayaran di pelabuhan ditetapkan dalam mata uang rupiah. Sedangkan, ongkos-ongkos kirim barang ke luar negeri dalam dolar Amerika.
Tapi di sisi lain, Lutfi menyebut mata uang lokal diprediksi akan mulai jadi pilihan ketimbang mata uang utama yang saat ini eksis. Sebab, pada perdagang punya opsi lain yang lebih efisien untuk melakukan transaksi dagang dengan negara lain.
Apakah nanti ongkos kirimnya menggunakan Dolar, Euro, Yuan, atau bahkan kripto. "Tinggal dipilih saja, jadi ini bagian dari mencari efisiensi pasar tersebut," kata dia.
Baca: Bahlil Klaim Alasan RI Diminati Investor Korsel: Tak Ada Lagi Tukang Palak