Adapun gugatan terbaru di PTUN Jakarta diajukan pada 25 Agustus 2021. Bambang menggugat Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta I dan Kepala Kantor Wilayah, Dirjen, Kekayaan Negara DKI Jakarta, Kementerian Keuangan.
Dalam gugatan itu, majelis hakim diminta untuk menyatakan Bambang tidak memiliki kewajiban ke KPKNL Jakarta 1. Sebaliknya, hakim diminta menetapkan PT Tata Insani Mukti sebagai pelaksana konsorsium, yang bertanggung jawab atas utang piutang yang terjadi.
Prisma lalu membeberkan alasan pihaknya menilai PT Tata Insani Mukti yang harus bertanggung jawab. Ia bercerita bahwa SEA Games XIX 1997 adalah ajang istimewa yang tidak dipersiapkan sebelumnya. "Karena Indonesia menggantikan Brunei yang mendadak mundur dari tuan rumah," kata dia.
Pemerintah saat itu meminta bantuan kepada mitra swasta untuk mengumpulkan dana SEA Games. Saat itu, dilakukan MoU antara PT Tata Insani Mukti sebagai pelaksana konsorsium dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Karena biayanya masih kurang, maka Sekretariat Negara memberi pinjaman kepada konsorsium.
Pada 1998, kata Primsa, sudah digelar audit dan diketahui biaya SEA Games yang dikeluarkan konsorsium sebesar Rp 156 miliar. Prima menyebut hasil audit itu pernah dilaporkan kepada pemerintah, tapi tidak direspons.
Selain itu secara kedudukan hukum, Prisma menilai konsorsium bukanlah badan hukum. Sebaliknya, perusahaan pelaksana konsorsium yaitu PT Tata Insani Mukti-lah yang memiliki kedudukan hukum.