IDEAS memproyeksikan beban bunga utang akan berada di kisaran 30 persen dari penerimaan perpajakan pada tahun 2024.
Menurut Nur Rosifah doktrin yang menjadi justifikasi hal tersebut adalah utang harus dibayar, apapun kondisi awal dari utang, untuk apa utang digunakan, dan sedarurat apapun kondisi gagal bayar.
“Menjaga reputasi di hadapan kreditor menjadi kredo suci. Repayment rule menjadi benteng kokoh pemerintah untuk selalu berutang dan mengakumulasi-nya sepanjang waktu,” ujar Nur Rosifah.
Paradoks terbesar selanjutnya yang dikukuhkan RAPBN 2022, kata dia, adalah semakin minimnya dukungan fiskal untuk sektor kesehatan. Dengan wabah yang masih mengganas dan tersebar merata ke penjuru negeri, semakin rendahnya anggaran kesehatan dinilai sangat memprihatinkan.
“Ketika pemerintah melakukan pembayaran bunga utang untuk investor hingga 2,3 persen dari PDB pada RAPBN 2022, di saat yang sama sektor kesehatan yang merupakan garda terdepan perang melawan pandemi hanya menerima alokasi 0,8 persen dari PDB,” ungkap Nur Rosifah.
Nur Rosifah menjelaskan bahwa beban utang yang semakin menghimpit tercermin dari rasio antara cicilan pokok dan bunga utang dengan penerimaan perpajakan. Hal tersebut, menurut dia, mencerminkan pendapatan pemerintah yang sesungguhnya.
Beban cicilan pokok dan bunga utang melonjak dari kisaran 30,8 persen dari penerimaan perpajakan pada 2015 menjadi 73,7 persen dari penerimaan perpajakan pada 2021, jauh diatas batas aman di kisaran 25-35 persen.
“Dengan kini hampir tiga per empat penerimaan perpajakan diprioritaskan untuk membayar beban bunga utang dan cicilan pokok utang yang jatuh tempo, maka ruang fiskal yang tersisa menjadi sangat terbatas,” kata Nur Rosifah.
Baca: IDEAS: Utang RI Diprediksi Tembus Rp 9.800 T di Akhir Pemerintahan Jokowi
CAESAR AKBAR