Seperti diketahui, pasukan Taliban yang mengambil alih pemerintahan Afganistan dalam waktu singkat serta menimbulkan kekacauan di negara tersebut. Padahal, Amerika Serikat sudah menghabiskan US$ 2,26 triliun atau setara dengan Rp 31.600 (asumsi kurs Rp 14.000 per dolar AS) selama kurang lebih 20 tahun.
Serangan kilat yang dilakukan Taliban menyapu sebanyak kurang lebih 300 ribu tentara Afghanistan yang telah dilatih oleh militer AS dalam kurun waktu sebulan saja. Setelah Taliban memasuki Kabul, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dikabarkan melarikan diri ke Tajikistan dan mengakui bahwa Taliban menang.
Hingga kemarin, 17 Agustus 2021, nilai tukar Afghani turun 1,7 persen menjadi 83,5013 per dolar AS. Ahmady berkata, penurunan tersebut sudah terjadi selama empat hari terakhir dan tidak tertutup kemungkinan masih akan berlanjut. Apalagi, kata ia, sudah tak ada lagi pengiriman Dollar per Jumat kemarin yang membatasi suplai mata uang dan berujung pada kepanikan.
"Nilai tukar naik dari stabil US$ 81 menjadi nyaris US$ 100 lalu turun lagi ke US$ 86. Saya sudah menggelar pertemuan (sebelum kabur) pada Sabtu kemarin untuk meminta bank dan institusi keuangan lainnya menenangkan," ujar Ahmady, Selasa, 17 Agustus 2021.
BISNIS | AL JAZEERA | ISTMAN MP
Baca: BCA Blokir Kartu ATM Magnetic Stripe Awal 2022, Nasabah Diimbau Ganti ke Chip