TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI, Erwan Agus Purwanto mengungkapkan masih rendahnya pencairan dana APBD untuk penanganan Covid-19.
Padahal penggunaan dana tersebut saat ini sangat dibutuhkan bagi warga masyarakat yang terkena dampak ekonomi maupun yang terpapar Covid-19.
Erwan mengungkapkan prinsip kehati-hatian dan kekhawatiran berlebihan terhadap konsekuensi hukum menjadikan kebijakan penanganan Covid-19 jadi lambat dan tidak optimal.
“Pencairan dana untuk covid di daerah masih kecil sekali, secara nasional baru 22 persen,” kata Erwan, pada Kamis 29 Juli 2021, dikutip dari laman resmi Universitas Gadjah Mada.
Menurut Erwan, lambatnya pencairan dana penanganan Covid-19 karena proses pencairan dana oleh kepala daerah dan aparatur negara disamakan pada situasi normal yang terbiasa dengan tahap perencanaan, pencairan, penggunaan dan laporan pertanggung jawaban secara detail.
Padahal, seharusnya kepala daerah bisa mengkondisikan pencairan dana jika dalam keadaan darurat. Seperti mengambil diskresi dan keputusan cepat meski tetap mengutamakan prinsip kehati-hatian. Oleh karena itu, perlu percepatan penyerapan anggaran penanganan Covid-19.
“Dalam situasi darurat, jika cara kerja kita masih mengandalkan situasi normal maka akan sangat lambat,” kata Erwan pada acara diskusi Tantangan Keterbukaan Informasi Publik dan Reformasi Birokrasi di Masa Pandemi Covid-19, Kamis 29 Juli 2021 yang digelar secara daring.
Cepatnya pengambilan keputusan pada masa pandemi ini bisa dilakukan asalkan penggunaan anggaran dilakukan secara jelas dan transparan. Meskipun, selama ini birokrasi tidak lepas dari persoalan korupsi penyalahgunaan wewenang, lemahnya pengawasan, inefisiensi anggaran, akuntabilitas kinerja yang belum optimal, dan profesionalisme sumber daya manusia yang rendah.
“Birokrasi kita sering dianggap lamban, boros anggaran dan korup,”papar Erwan.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam dua dekade terakhir untuk melakukan reformasi birokrasi. Mulai melakukan penyederhanaan struktur birokrasi, membubarkan 27 lembaga yang diintegrasikan fungsi dan tugasnya serta memperkuat pengawasan dan kontrol publik pada kerja birokrasi.
Sudah banyak sekali dilakukan pengawasan kerja birokrasi dengan adanya lembaga untuk mengawasi kerja birokrasi. “Namun cukup mengagetkan masih ada celah dan ruang adanya praktik korupsi,” tutur Erwan.
Erwan menyebutkan perlunya melibatkan masyarakat untuk mengawasi birokrasi melalui berbagai jalur pengaduan dengan berbagai jalur baik lewat website dan sosmed yang dimiliki setiap lembaga publik.
Pakar Manajemen Sumber Daya Manusia FEB UGM, Gugup Kismono mengatakan untuk membentuk perilaku baik para aparatur negara di sebuah lembaga atau organisasi harus dimulai dari pemimpinnya. "Jika pemimpin berperilaku baik maka organisasinya jadi akan baik. Bahkan, bisa berimbas pada pribadi dari anggota organisasi itu,”katanya.
Gugup yang juga menjabat Sekretaris Rektor UGM menuturkan bahwa para pimpinan UGM terbiasa mengambil keputusan cepat dalam situasi kegawatdaruratan. Salah satunya adalah kebijakan Rektor UGM menyediakan selter dengan 1.226 bed untuk ruang isolasi mandiri bagi pasien Covid-19 di DIY. “Kita banyak mendapat bantuan dan donasi dari mitra tanpa mengikuti prosedur normal, namun sangat akuntabel agar selter bisa cepat dimanfaatkan oleh masyarakat,” katanya.
WILDA HASANAH
Baca juga: Bukan Cuma Dua Kali, Vaksin Covid-19 Sepertinya Bakal Disuntikkan Setiap Tahun