Namun begitu, pengenaan PPN tetap berpotensi meningkatkan beban pengeluaran fasilitas kesehatan. Tarif INA-CBGs pun, menurut Timboel, harus dipertimbangkan kembali penyesuaiannya dengan memperhatikan perkembangan kebijakan PPN dan inflasi yang terus terjadi.
Lebih jauh, Timboel menilai bahwa meningkatnya biaya layanan kesehatan di fasilitas kesehatan akan memengaruhi arus kas dana jaminan sosial (DJS) kesehatan, yang defisitnya baru saja terselesaikan. Jika defisit itu kembali terjadi karena beban layanan yang tinggi, pemerintah yang kemudian akan menanggungnya melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Jika upaya menambal pengeluaran APBN dilakukan dengan penyesuaian iuran, menurut Timboel, maka kenaikan iuran segmen penerima bantuan iuran (PBI) untuk rakyat miskin pun akan ditanggung negara. Termasuk di dalamnya adalah sebagian komponen iuran dari segmen pekerja penerima upah (PPU) APBN.
Menurut dia, untuk iuran peserta PPU dan mandiri akan berdampak, namun hal itu sebagai bagian dari nilai gotong royong dari kelompok masyarakat mampu seperti PPU dan mandiri. "Jadi, untuk rencana pengenaan PPN di sektor kesehatan tidak perlu dikhawatirkan (oleh peserta)," ujar Timboel.
Secara umum, BPJS Watch menilai bahwa pemerintah perlu melakukan kajian yang lebih objektif terhadap rencana pengenaan PPN, baik di sektor kesehatan, pendidikan, terlebih untuk sembilan bahan pokok (sembako). Kebijakan tersebut tidak boleh sampai memberatkan masyarakat, khususnya segmen menengah ke bawah.
Jika pengenaan PPN sembako memicu kenaikan harga, maka masyarakat miskin akan terdampak secara signifikan. "Tapi untuk masyarakat menengah ke atas kenaikan harga tersebut relatif bisa diatasi, sehingga masyarakat menengah ke atas masih mampu mempertahankan kualitas sembako yang dikonsumsinya selama ini," ujar Timboel.
BISNIS
Baca: Kemenkeu Sebut PPN Pendidikan Tidak Akan Bikin Putus Sekolah, Ini Penjelasannya