TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengungkap alasan pemerintah dalam memperluas objek kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Kami mempertimbangkan untuk memperluas basis pengenaan PPN tetap dengan memperhatikan dengan kondisi yang ada saat ini,” katanya dalam media briefing secara daring di Jakarta, Senin 14 Juni 2021.
Neil menyatakan pemerintah ingin menciptakan sistem pemungutan PPN yang lebih efisien dan less distortion mengingat distorsi ekonomi terjadi seiring adanya tax incidence sehingga harga produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor.
Kemudian, dibandingkan dengan negara lain ternyata tarif PPN di Indonesia termasuk relatif rendah karena rata-rata tarif PPN negara OECD mencapai 19 persen sedangkan negara BRICS sebesar 17 persen.
Selanjutnya, C-efficiency PPN Indonesia sebesar 0,6 atau 60 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut sedangkan Singapura, Thailand dan Vietnam sudah lebih tinggi 80 persen.
Ia menjelaskan terdapat pergeseran kondisi pengenaan perpajakan PPN secara global pada beberapa tahun terakhir yang disebabkan oleh tingginya tax expenditure.