TEMPO.CO, Jakarta - Keberadaan PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, ditentang masyarakat. Penguasaan kegiatan pertambangan emas oleh perusahaan yang saat ini memegang izin eksplorasi untuk produksi seluas 42 ribu hektare tersebut dikhawatirkan akan merusak ekosistem lingkungan Sangihe sebagai pulau kecil.
“Kami gerakan Save Sangihe Island sudah terlebih dulu bergerak menolak PT TMS,” ujar aktivis koalisi Save Sangihe Island, Jull Takaliuang, saat dihubungi Tempo, Jumat, 11 Juni 2021.
Penolakan oleh masyarakat diwujudkan dalam petisi kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi sejak awal April lalu. Melalui situs Change.org, masyakarat mendesak Jokowi mencabut izin usaha pertambangan (IUP) produksi TMS yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta membatalkan izin lingkungan yang dikeluarkan Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Utara.
Lantas, seperti apa profil perusahaan PT Tambang Mas Sangihe tersebut?
Dikutip adari Minerba One Data Indonesia (MODI) ESDM, mayoritas saham TMS digenggam oleh Sangihe Gold Corporation asal Kanada. Sangihe Gold Corporation mengempit saham sebesar 70 persen dengan status kepemilikan perseorangan.
Sedangkan 30 persen lainnya dimiliki oleh perusahaan asal Indonesia. Rinciannya, sebanyak 10 persen saham TMS dikempit PT Sungai Belayan Sejati, 11 persen lainnya digenggam PT Sangihe Prima Mineral, dan 9 persen sisanya dimiliki PT Sangihe Pratama Mineral.
Perusahaan tersebut beralamat di Gedung Noble House Lantai 30, Jalan Dr. Ide Anak Agung Gde Agung Kavling e4.2 Nomor 2 Kuningan Timur, Setiabudi, Jakarta Selatan. Perusahaan yang dulu bernama East Asia Minerals ini memegang izin eksplorasi pertamanya pada 1997.