Prastowo mengatakan saat ini banyak negara berpikir untuk memikirkan optimalisasi pajak demi keberlanjutan. Di sisi PPN, Prastowo mengatakan negara-negara juga memikirkan penataan ulang sistem pajak pertambahan nilai itu.
Langkah penataan ulang sistem pajak dilakukan antara lain melalui perluasan basis pajak dan penyesuaian tarif. "Ada 15 negara yg menyesuaikan tarif PPN utk membiayai penanganan pandemi. Rerata tarif PPN 127 negara adalah 15,4 persen. Kita sendiri masih 10 persen," ujar Prastowo.
Terkait PPN, Prastowo mengatakan pemerintah telah melakukan kajian dan benchmarking dari negara lain. Hasilnya, pemerintah mendapati bahwa 24 negara mematok tarif PPN di atas 20 persen, 104 negara di kisaran 11-20 persen, dan selebihnya di bawah 10 persen.
"Di antara negara-negara tersebut, ternyata banyak juga negara yang menerapkan kebijakan multitarif PPN, tidak tunggal. Rentang tarifnya beragam. Ini selaras dengan adagium lama 'semakin kompleks sistem pajak, maka semakin adil', dan sebaliknya. Kalau mau simpel ya bisa, tapi enggak adil," kata dia.
Prastowo mengatakan kinerja penerimaan PPN Indonesia masih belum optimal. Salah satu penyebabnya, menurut dia, adalah banyaknya pengecualian dan fasilitas. Bahkan, ia mengatakan Indonesia adalah negara dengan pengecualian terbanyak. Hal tersebut, tutur dia, terkadang distortif dan tidak tepat, bahkan menjadi ruang pengindaran pajak.
"Intermezzo: saking baiknya, bahkan banyak barang dan jasa dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa dipertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apapun jenis dan harganya, semua bebas!" kata dia.
Pengaturan yang demikian, menurut dia, menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai karena yang mampu bayar tak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN. "Ini fakta. Maka kita perlu memikirkan upaya menata ulang agar sistem PPN kita lebih adil dan fair."