Karena itu, ia mengatakan cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengenakan komoditas yang dikonsumsi masyarakat menengah bawah dengan tarif lebih rendah, bukan 10 persen. Sebaliknya, yg hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi.
"Ini adil bukan? Yang mampu menyubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong," ujar dia. Begitu pula halnya dengan barang-barang pokok.
Prastowo mengatakan sekarang adalah saat yang tepat untuk merancang dan memikirkan. "Bahwa penerapannya menunggu ekonomi pulih dan bertahap, itu cukup pasti. Pemerintah dan DPR memegang ini. Saat ini pun barang hasil pertanian dikenai PPN 1 persen. beberapa barang/jasa juga demikian skemanya agar ringan," kata dia.
Sebelumnya, pemerintah berencana menjadikan bahan pokok sebagai objek pajak. Dengan demikian, produk hasil pertanian, peternakan, perkebunan, dan kehutanan bakal menjadi barang kena pajak yang dikenai tarif pajak pertambahan nilai (PPN).
Meski demikian, sejauh ini pemerintah belum menentukan tarif mana yang akan diberlakukan. Terdapat beberapa opsi yang menjadi pertimbangan, yakni PPN Final 1 persen, tarif rendah 5 persen, atau tarif umum 12 persen.
Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, sembako menjadi kelompok barang yang dikecualikan sebagai objek pajak. Peraturan Menteri Keuangan No. 99/2020 menyebutkan setidaknya ada 14 kelompok barang yang tidak dikenai tarif PPN, di antaranya adalah beras dan gabah, jagung, sagu, garam konsumsi, gula konsumsi, susu, kedelai, telur, sayur-sayuran, dan buah-buahan.
CAESAR AKBAR | BISNIS
Baca: BTS Meal Diburu, Layanan Grab Food dan Go Food ke McDonalds Dihentikan Sementara